Syaikh Google: Fenomena Belajar Agama Dari Youtube dan Google
Beberapa waktu terakhir, kita sering menemukan orang berdebat di media umum wacana permasalahan agama dan info syara'. Hebatnya para pelaku debat di media umum ini bisa menyertakan dalil-dalil untuk mengemukakan pendapat yang dikemukakannya di media sosial.
Pedahal kalau ditelusuri lebih jauh, para pelaku debat di media umum ini kebanyakan bukan jago agama dan tidak pernah mengenyam dingklik pendidikan khusus untuk mencar ilmu ilmu agama; semisal mencar ilmu dan mondok di pesantren. Namun mereka sering kali melaksanakan perdebatan dan menggarap ranah pembahasan yang seharusnya menjadi kewenangan ulama.
Titik kronisnya yakni ketika sebagian dari para pelaku debat turut menghukumi lawan debat atau sesuatu yang dipersoalkan dengan label-label yang dianggap berat dalam beragama. Dari mulai status aturan fiqih hingga status keimanan dan keislaman seseorang. Tak heran bila dalam perdebatan selalu muncul kata-kata haram, bid'ah, sesat, munafiq, kafir, thogut, anti islam, dan lain sebagainya.
Hal ini menjadikan pertanyaan, kenapa sebagian dari mereka begitu percaya diri berdebat terkait masa'il diniyah di media sosial? Bahkan diantaranya berani menjustifikasi dan menetapkan suatu aturan secara sanggup bangkit diatas kaki sendiri sedangkan mereka sendiri bukan spesialis dalam ilmu agama?
Tentu permasalahan ini perlu diteliti lebih dalam. Namun bila memakai kacamata sederhana, fenomena orang awam di media umum yang memposisikan diri sebagai spesialis bersahabat kaitannya dengan problem literasi digital masa kini.
Kita bisa melihat para pelaku debat saling menghujat dan tabrak link serta tumpuan situs-situs dari internet untuk menciptakan pembenaran.
Ketika mereka dihadapkan pada perdebatan atas suatu masalah, mereka menjadikan google untuk memandu mereka. Dan dari hasil pencarian google tersebut, mereka secara serampangan mengambil banyak sekali ilmu dan tumpuan tanpa disiplin dan filtrasi yang jelas. Lantas melaksanakan copy paste goresan pena di website atau kutipan ceramah ustadz di youtube. Yang diantaranya terkadang berupa penggalan, dan hanya menampilkan satu sudut pandang tanpa merangkul sudut pandang yang lain.
Tidak heran bila kemudian muncul istilah "berguru pada Syaikh Google". Sebuah fenomena dimana tumpuan keagamaan sekarang mengambil dari hasil penelusuran mesin pencari Google. Berbagai permasalahan agama tidak lagi disodorkan secara pribadi (talaqqi/muajaha) kepada Ulama atau Kiyai melalui pengolahan dan bimbingan mendalam, melainkan dengan "asal comot" melalui tumpuan internet.
Lantas, salahkah mencar ilmu agama dari internet?
Perlu diketahui, mencar ilmu ilmu-ilmu keagamaan, tentu tidak menyerupai ilmu-ilmu pada umumnya alasannya yakni ada banyak sekali batasan dan disiplin yang harus diperhatikan. Karena boleh jadi, kecerobohan dalam mengambil ilmu agama bisa menjadikan banyak sekali peyimpangan. Bukan hanya penyimpangan dalam urusan beragama, tapi juga penyimpangan yang sanggup memicu pada permasalahan kemanusiaan serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai pola orang awam yang mencar ilmu fiqih dari internet. Ia mengambil ilmu secara serampangan. Berbagai tumpuan ia jadikan panduan. Hingga karenanya ia mencampur aduk aturan alasannya yakni ketidaktahuannya. Praktek wudhu ia gunakan fiqih ala madzhab Syafii, namun dalam penghapusan wudhunya ia gunakan madzhab Hanafiy. Begitu seterusnya, hingga terjadi kesembrawutan dalam praktek ibadah yang ia lakukan.
Belum lagi, ia menerima kajian wacana akidah. Mengambil kajian dari ustadz populer di youtube yang menyatakan bahwa Allah ada di langit. Ia pun mengikutinya alasannya yakni keserampangan dan kepolosan dalam arif yang ia lakukan.
Lama-kelamaan, ia pun membaca situs-situs propaganda. Yang di dalamnya menggiring kebencian pada kelompok tertentu. Dan sudah barang tentu, ia pun terpengaruh untuk ikut membenci dan gampang menuduh kafir, munafik, musyrik, bidah dan tuduhan-tuduhan lain kepada orang atau sesuatu yang dibencinya.
Semua akhir ia mencar ilmu agama secara belajar sendiri berbekal hasil searching dari "Syaikh Google".
Sejatinya mencar ilmu ilmu agama itu memerlukan panduan dan bimbingan dari guru, serta tidak bisa dilakukan dengan instan alasannya yakni memerlukan waktu yang lama. Hal ini sebagaimana dikutip dalam syair yang dimuat pada ta'lim al-mutaallim:
أَلا لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مجموعها بِبَيَانٍ ذَكَاء وَحِرْص وَبلغة وَإرشاد أُسْتَاذٍ وَطُوْل زَمَانٍ
"Tidaklah ilmu diperoleh kecuali dengan enam kasus yang akan saya sampaikan semuanya dengan jelas: Kecerdasan, semangat, kesungguhan, kecukupan, bimbingan guru dan waktu yang panjang."
Sedangkan bila kita mencar ilmu dari "Syaikh Google", kita tidak bisa dikatakan menerima bimbingan guru. Karena tidak terang pertanggung jawaban, sanad, waktu, daerah serta ruang rasa ikatan guru dan murid.
Kita tentu tahu bahwa dalam dunia maya ketika inu begitu marak manipulasi. Terkadang untuk konten tulisan, kita tidak pernah tahu siapa sosok yang menulis, bagaimana orangnya, bagaimana karakternya, dan bagaimana kebenaran dan kualitas dari apa yang ditulisnya. Karena boleh jadi, dalam dunia maya, siapa pun bisa menulis konten, bahkan orang fasiq dan orang musyrik yang mempunyai niat jahat sekali pun bisa menciptakan konten. Lantas diupload dalam website dengan domain (nama situs) yang terkesan islami, seolah untuk kajian islami, pedahal mempunyai tujuan yang justru mau merusak akidah. Tentu hal-hal menyerupai ini menjadi sangat beresiko, apalagi bagi orang awam yang biasa mengambil suatu tumpuan secara mentah.
Dalam video youtube, kita pun bisa menemukan banyak ustadz. Tapi kita sering kali tidak pernah mengenal asal usulnya dan asal undangan keilmuannya. Hanya alasannya yakni framing hasil syuting yang diuplod ke youtube, terkadang kita dengan gampang terbeli dan meyakini bahwa beliau yakni usatdz. Lantas menjadikannya sebagai panduan.
Pedahal, dalam beberapa kasus, ada ustadz youtube yang mengakui bahwa bergotong-royong dirinya tidak pernah mondok di pesantren dan tidak mempunyai kemampuan ilmu agama yang mumpuni. Semisal tidak menguasai ilmu baca kitab kuning yang memang menjadi perangkat untuk sanggup menggali al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam kitab Ta'lim al-Muta'alim, menentukan guru dan menentukan ilmu menjadi bab penting yang dibahas. Dalam menentukan guru, dianjurkan kriteria tertentu, baik dari kealiman, usia dan moral seseorang yang akan dijadikan guru. Ada satu pesan tersirat dari Al-Hakim:
قال الحكيم رحمة الله عليه: إذا ذهبت إلى بخارى فلا تعجل فى الإختلاف إلى الأئمة وامكث شهرين حتى تتأمل وتختار أستاذا، فإنك إن ذهبت إلى عالم وبدأت بالسبق عنده فربما لا يعجبك درسه فتتركه فتذهب إلى آخر، فلا يبارك لك فى التعلم. فتأمل فى شهرين فى اختيار الأستاذ، وشاور حتى لا تحتاج إلى تركه والاعراض عنه فتثبت عنده حتى يكون تعلمك مباركا وتنتفع بعلمك كثيرا.
"Ketika engkau pergi ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa masuk dalam perselisihan imam-mam. Tinggalah dulu selama 2 bulan, sehingga engkau bisa menimbang dan menentukan guru. Karena kalau engkau pergi kepada seorang alim dan engkau mulai menuntut ilmu padanya, ketika engkau tidak menemukan ketakjuban pada pelajarannya, lantas engkau meninggalkannya dan pergi pada yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkahi. Maka pertimbangkanlah selama 2 bulan dalam menentukan guru, dan bermusyawarahlah sehingga engkau tidak pergi dan berpaling darinya, dan engkau bersamanya sehingga belajarmu diberkahi serta ilmumu banyak bermanfaat."
Wal hasil, mencar ilmu agama tidak cukup dilakukan sendiri. Harus ada bimbingan dari seorang guru yang berguru pada guru, dan begitu seterusnya hingga rantai berguru bersambung pada aliran Rasulullah SAW. Seseorang yang mencar ilmu tanpa guru rentan terpeleset pada kesalahan dan penyimpangan. Ada maqolah ulama yang berbunyi:
مَنْ تَعَلَّمَ اْلعِلْمَ وَلَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ شَيْطَانٌ
"Barang siapa yang belajaar ilmu namun tidak berguru, maka gurunya yakni setan."Perdebatan masalah agama di ruang media umum yang dilakukan oleh orang awam hendaknya dihindari. Masyarakat muslim jangan gampang terjebak pada perselisihan dan perseteruan. Mereka yang mengeluarkan dalil-dalil kebanyakan belum tentu faham ilmu agama. Terkadang mereka hanya berbekal kemampuan copy paste, dan melaksanakan pembenaran atas pendapat yang mereka kemukakan.
Sebaiknya arif dilaksanakan dalam ruang nyata, bermuawajahah dan berada pribadi dalam bimbingan guru. Sehingga kita bisa melihat kualitas seseorang yang kita jadikan guru, baik dalam ilmu maupun dalam amal keseharian.
Penulis:
Ang Rifkiyal
(Santri Pondok Pesantren Mafazah Assalafiyah dan mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Nusantara Bandung)