Keluarga Arab kota mempunyai kebiasaan untuk menitipkan anak mereka yang gres lahir kepada wanita desa atau gurun untuk disusui. Hal ini dilakukan biar anak mereka terhindar dari penyakit yang ada di wilayah perkotaan, biar anaknya mempunyai badan yang sehat, dan biar belum dewasa mereka fasih dalam berbahasa Arab.
Begitu pun dengan Sayyidah Aminah. Ia menitipkan anaknya, Nabi Muhammad, kepada Halimah as-Sa’diyah beberapa ketika sesudah melahirkannya. Maka semenjak ketika itu, Nabi Muhammad tinggal bersama keluarga Halimah di perkemahan daerah Bani Sa’ad. Beliau tumbuh di daerah tersebut dan jauh dari ibunya yang berada di kota Makkah.
Sebetulnya Halimah ingin biar Nabi Muhammad tinggal bersamanya. Alasannya, Halimah mengalami kehidupan yang lebih baik selama merawat Nabi Muhammad. Hewan ternaknya menjadi gemuk-gemuk dan penuh dengan susu. Ia merasa Nabi Muhammad ialah pembawa berkah bagi keluarganya. Sehingga ia meminta izin kepada Sayyidah Aminah biar memperpanjang masa kebersamaannya dengan Nabi Muhammad.
Namun cita-cita Halimah itu sirna sesudah mendengar dongeng wacana ‘kejadian aneh’ yang menimpa anak asuhnya itu menyerupai Nabi Muhammad dibelah dadanya. Ia khawatir dan tidak ingin anak asuhnya itu kenapa-kenapa, maka karenanya Halimah menyerahkan kembali Nabi Muhammad kepada Sayyidah Aminah. Jadilah semenjak ketika ini Nabi Muhammad melalui hari-harinya bersama ibundanya, Sayyidah Aminah.
Merujuk buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Martin Lings, 2012), Rasulullah hidup bersama ibunya selama tiga tahun, atau hingga beliau berusia enam tahun. Selain mendapat perhatian penuh dari ibundanya, Rasulullah juga mendapat perhatian dari kakek, paman, bibi, dan sepupu-sepupunya.
Meski sudah dikaruniai seorang anak yang begitu cemerlang, Sayyidah Aminah masih saja terkenang dengan almarhum suaminya, Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib. Maka ketika Nabi Muhammad berusia enam tahun, Sayyidah Aminah mengajak putranya itu untuk berziarah ke makam Sayyid Abdullah di Yatsrib (Madinah).
Sayyidah Aminah mengajak serta Ummu Aiman atau Barakah –budak warisan dari suaminya- untuk menemani perjalanannya ke Yatsrib. Mereka ikut serta bersama dengan sebuah kafilah untuk hingga di Yastrib. Sayyidah Aminah menaiki untanya sendiri, sementara Ummu Aiman bersama Nabi Muhammad menaiki unta yang satunya lagi.
Nabi Muhammad tampak murung ketika hingga di kuburan ayahandanya. Tidak hanya itu, selama di Yatsrib Sayyidah Aminah juga mengenalkan Nabi Muhammad dengan paman-pamannya dari Bani Adi bin Najjar. Sebagaimana keterangan buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, 2012), Sayyidah Aminah dan Nabi Muhammad berada di Yatsrib selama sebulan.
Kunjungan yang tidak terlalu usang itu ternyata menciptakan Nabi Muhammad cukup terkesan. Seperti diuraikan buku Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah (Nizar Abazhah, 2011), Nabi Muhammad melaksanakan banyak aktivitas selama di Yatsrib. Mulai dari berenang di bak Adi –sebuah bak terindah di daerah Yatsrib- pada ketika itu, bermain-main di kebun-kebun, menerbangkan layang-layang, dan mencabut rumput di jalan-jalan.
Setelah satu bulan berlalu, mereka karenanya pulang kembali ke Makkah. Namun siapa sangka, Sayyidah Aminah jatuh sakit di tengah perjalanan ketika hingga Abwa’ –sebuah desa yang jaraknya sekitar 140 km dari Madinah ke Makkah-. Ini menjadi momen kebersamaan Rasulullah dengan ibundanya yang terakhir. Karena beberapa ketika sesudah menahan rasa sakit, Sayyidah Aminah karenanya wafat.
Sesaat sebelum wafat, Sayyidah Aminah berpesan kepada Ummu Aiman –budakya yang ikut dalam perjalanan- untuk menjaga dan merawat Nabi Muhammad. ummu Aiman melaksanakan wasiat Sayyidah Aminah itu dengan baik, ia mengantarkan Nabi Muhammad ke Makkah dengan selamat. Ummu Aiman juga sangat sayang dan perhatian kepada Nabi Muhammad sehingga dikenal sebagai ibu kedua Nabi Muhammad.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
0 komentar:
Post a Comment