Showing posts with label kisah hikmah Rasulullah. Show all posts
Showing posts with label kisah hikmah Rasulullah. Show all posts
Pada ketika usianya delapan tahun, Nabi Muhammad saw. memberikan keinginannya untuk menggembala kambing kepada pamannya, Abu Thalib. Sang paman kaget mendengar hal itu. Ia berusaha mencegahnya, namun gagal. Begitu pula dengan sang bibi, Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib. Keduanya bahwasanya tidak tega jika keponakannya yang masih kecil itu harus bekerja menggembala kambing. Akan tetapi tekad Nabi Muhammad saw. begitu lingkaran sehingga tidak dapat dihentikan.

Mau tidak mau balasannya Abu Thalib menuruti impian Muhammad saw.. Bahkan, ia mencarikan ‘bos’ bagi Muhammad saw. Abu Thalib menghubungi kenalannya dari orang Quraisy yang kaya dan mempunyai banyak kambing, untuk digembala Muhammad saw. 

Sang bibi, Fatimah binti Asad juga sama. Ia selalu mengantar Muhammad saw. sampai ke lisan pintu ketika keponakannya itu hendak berangkat menggembala. Tidak hanya itu, Fatimah juga selalu menyiapkan bekal makanan untuk Muhammad saw. Selama Muhammad saw. menggembala, Fatimah selalu gelisah. Khawatir sesuatu yang jelek terjadi kepada keponakan terkasihnya. Oleh karenanya, Fatimah selalu menanyakan banyak hal kepada Muhammad saw.  Tidak lain untuk memastikan jika keponakannya itu baik-baik saja. 

Lantas apa yang menciptakan Muhammad saw. memutuskan untuk menggembala kambing? Mengapa tidak melaksanakan hal yang lainnya misal berdagang atau jualan? Dan di usia  yang masih belia menyerupai itu, bukankah bawah umur biasanya sibuk bermain ke sana kemari?  

Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), setidaknya ada tiga alasan mengapa Muhammad saw. balasannya memutuskan untuk bekerja menggembala kambing. 

Pertama, membantu meringankan beban keuangan pamannya, Abu Thalib. Setelah ibunya, Aminah, wafat, Muhammad saw. hidup di rumah kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian ketika Abdul Muthalib wafat, Muhammad saw. balasannya hidup bersama pamannya, Abu Thalib. Pada ketika awal-awal tinggal bersama Abu Thalib, Muhammad saw. biasa-biasa saja. Beliau bermain dan makan bersama dengan bawah umur Abu Thalib. 

Namun usang kelamaan, Muhammad saw. mulai sadar bahwa kondisi ekonomi pamannya memprihatinkan. Ditambah pamannya juga mempunyai anak yang banyak. Hal itulah yang menggerakkan Muhammad saw. untuk berbuat sesuatu. Bekerja apapun itu, yang penting dapat menghasilkan uang untuk sekedar membantu ekonomi keluarga pamannya. Mungkin ini yang menjadi alasan utama Muhammad saw. menggembala kambing. 



Kedua, menggembala kambing tidak butuh modal. Boleh dikata jika Muhammad saw. sudah berpikir secara mendalam untuk mengambil profesi sebagai penggembala kambing. Profesi itu yaitu sempurna dan pas bagi dirinya yang usianya masih belia dan tidak mempunyai modal. Muhammad saw. sadar bahwa pada ketika itu semua pekerjaan sudah dikerjakan budak, kecuali berdagang. Namun untuk berdagang harus mempunyai modal, sementara Muhammad saw. tidak mempunyai itu. Sementara ia ingin sekali membantu meringankan beban pamannya.

Akhirnya ia menemukan satu pekerjaan yang pas untuk dirinya dan tidak memerlukan modal, yaitu menggembala kambing. Tidak lain, itu semata-mata dilakukan untuk membantu meringankan beban ekonomi pamannya, Abu Thalib. 

Ketiga, Muhammad saw. suka berada di padang terbuka yang luas. Muhammad saw. sangat bahagia dengan padang terbuka yang luas. Di sana, ia dapat merenungkan alam dengan segala keindahan dan kebesarannya. Di padang terbuka pula Muhammad saw. bebas merenungkan segala sesuatu secara mendalam tanpa ada yang mengganggunya. Oleh alasannya yaitu itu, ia memutuskan untuk menggembala kambing di padang terbuka yang luas di wilayah Makkah.

Muhammad saw. menjadi penggembala kambing kurang lebih selama empat tahun. Ketika usianya 12 tahun, Muhammad saw. tidak lagi menjadi penggembala kambing alasannya yaitu alasan tertentu pula.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Rasulullah merupakan sumber kebenaran alasannya ia mendapatkan wahyu pribadi dari Allah. Apapun yang dilakukannya yaitu suri contoh yang harus diikuti, kecuali hal-hal tertentu yang memang dikhususkan untuk Rasulullah. Apapun yang diucapkannya yaitu wahyu yang mengandung kesahihan. 

Rasulullah merupakan sumber ilmu. Sehingga bila para sahabatnya menemukan suatu hal yang janggal, maka mereka akan mengadukannya kepada Rasulullah untuk meminta solusi. Tidak hanya soal keagamaan, Mereka juga bertanya perihal hal-hal lainnya. Permasalahan rumah tangga misalnya.  

Dalam buku Kisah-kisah Romantis Rasulullah (Ahmad Rofi’ Usmani, 2017), dikisahkan bahwa suatu ketika seorang Badui dari Bani Fazarah mendatangi Rasulullah. Ia mengadu perihal istrinya yang gres saja melahirkan seorang bayi yang berkulit hitam. Seorang Badui tersebut tidak terima.  Ia tidak mau mengakui anak itu alasannya kulitnya tidak sama dengan dirinya, yang tidak hitam.

“Anak itu terperinci bukan anakku,” tegasnya.

Rasulullah tidak pribadi meresponsnya. Beliau membisu sejenak. Setelah amarah orang Badui tersebut sudah stabil, Rasulullah gres menjawabnya. Menariknya, Rasulullah tidak pribadi menjawab kalau anak itu yaitu anak si Badui atau tidak. Akan tetapi Rasulullah memberikan perumpamaan kepada si Badui dalam menuntaskan kasus tersebut.

Mula-mula Rasulullah bertanya kepada si Badui “Apakah ia memiliki unta?”. “Punya”, kata si Badui. Rasulullah lalu bertanya perihal warna dari unta si Badui. “Warnanya merah wahai Rasulullah”, sambung si Badui. Lagi-lagi Rasulullah kembali bertanya, “Apakah belum dewasa dari untamu itu ada yang berwana abu-abu?”. Si Badui menjawab bahwa anak dari untanya ada yang berwarna abu-abu sebagaimana yang ditanyakan Rasulullah.

“Dari mana asalnya anaknya yang berwarna abu-abu itu?”, kata Rasulullah kembali mengajukan pertanyaan kepada si Badui.



Si Badui menjawab dengan sekenanya kalau anak untanya yang berwarna abu-abu itu -sementara untanya sendiri berwarna merah- sanggup saja berasal dari asal keturunannya. Dari sini lalu Rasulullah mengumpamakan anak Badui yang hitam itu. Dengan nada yang santun Rasulullah menyampaikan kalau anak Badui yang berkulit hitam itu sanggup saja ‘turunan’ dari nenek moyangnya, sebagaimana untanya tersebut.

“Sahabatku, anakmu pun begitu. Mungkin nenek moyangnya ada yang berkulit hitam,” kata Rasulullah. Setelah mendengar klarifikasi Rasulullah, si Badui risikonya mau mendapatkan anaknya yang kulitnya tidak sama dengan dirinya itu. 

Demikian Rasulullah menjawab dilema dari umatnya. Kalau ketika ini mungkin praktis saja. Tinggal dites DNA-nya. Namun ketika itu ilmu pengetahuan belum berkembang secanggih menyerupai ketika ini. Kaprikornus Rasulullah memakai perumpamaan-perumpamaan yang relevan dan praktis dicerna umatnya. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Seorang sahabat mengenang Rasulullah saw. sebagai insan yang terbaik secara khalq dan khuluq.Maksud khalq yakni ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisik. Sementara khuluq yakni ciptaan Alllah yang bersifat batiniah. Dengan demikian, Rasulullah yakni seorang yang terbaik, baik secara fisik maupun akhlak.  

Testimoni ihwal keagungan, khususnya adab Rasulullah juga tiba dari Allah pribadi dalam QS. Al-Qalam: 4. Di situ disebutkan bahwa Rasulullah mempunyai adab yang sangat agung (Wa innaka la’ala khuluqin adzim). Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat sifat-sifat suri contoh yang baik. 

Rasulullah menjadi contoh bagi umatnya dalam segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam urusan ibadah, tapi juga urusan-urusan lainnya ibarat berteman, bertetangga, bahkan hingga berumah tangga. Termasuk tetap bersikap baik kepada istri dan tidak menyakitinya, meski apa yang diperbuat istri tidak sesuai dengan apa yang ia ‘kehendaki.’ Rasulullah telah memperlihatkan contoh ihwal hal itu. 

Dalam buku Kisah-kisah Romantis Rasulullah (Ahmad Rofi’ Usmani, 2017), disebutkan bahwa Rasulullah pernah menolak kuliner istrinya yang tidak sesuai dengan seleranya. Meski demikian, Rasulullah menolaknya dengan cara yang baik dan halus sehingga tidak hingga menciptakan istrinya sakit hati.



Begini ceritanya, pada hari itu Rasulullah mengajak Khalid bin Walid menemui salah satu istrinya, Maimunah bin Harits. Sebagaimana diketahui, Maimunah yakni saudara wanita ibu Khalid, Lubabah al-Sughra binti Harits. Dengan demikian, Khalid yakni keponakan dari Maimunah, istri Rasulullah.

Ketika Rasulullah dan Khalid tiba di bilik Maimunah, istri Rasulullah itu menuju ke dapur dan memasak daging dhabb (sejenis biawak) yang diperoleh dari saudaranya yang tinggal di Nejd, Hafidah binti Harits. Selang beberapa waktu, Maimunah berhasil menuntaskan masakannya. Ia pribadi menghidangkan masakannya itu untuk Rasulullah dan Khalid.

Pada ketika Rasulullah menjulurkan tangannya untuk mengambil hidangan Maimunah itu, seseorang tiba-tiba memperlihatkan gosip bahwa itu yakni daging dhabb. Segera saja Rasulullah pribadi menarik kembali tangannya. Beliau tidak jadi memakan kuliner Maimunah itu.

Khalid yang berada di samping Rasulullah penasaran. Ia lalu bertanya kepada Rasulullah perihal daging dhabb itu. Apakah halal atau haram? Dan mengapa Rasulullah mengurungkan niatnya untuk mengambilnya dan tidak jadi memakannya?

“Daging dhabb tidak haram. Hanya saja daging dhabb ini tidak terdapat di tempat kaumku. Karena itu saya kurang merasa berselera untuk memakannya,” kata Rasulullah dengan nada halus dan santun.

Setelah mendengar klarifikasi itu, Khalid –yang memang doyan dengan dhabb- pribadi memakan kuliner yang dihidangkan Maimunah itu. Ia memakannya dengan begitu lahap. Sementara Rasulullah hanya melihatnya dan tidak melarang Khalid untuk berhenti memakannya.

Demikian cara Rasulullah menolak kuliner istri yang tidak sesuai dengan seleranya. Beliau memakai alasan yang sanggup diterima oleh istrinya. Cara menyampaikannya pun dengan santun dan halus sehingga istrinya tidak marah.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Ketika ketika awal-awal Rasulullah mendakwahkan Islam, banyak pihak yang memusuhinya. Mereka tidak hanya menyerang fisik Rasulullah, tapi juga psikis dan mentalnya. Berbagai macam dilakukan untuk menjatuhkan harkat dan martabat Rasulullah. 

Salah satunya yakni dengan menyampaikan Rasulullah sebagai orang absurd alasannya mengaku sebagai nabi dan utusan Allah. Menyeru kepada penduduk Makkah untuk masuk Islam dan menjadi pengikutnya. Dan menentang aliran agama nenek moyang penduduk Makkah yang sudah berlangsung berpuluh-puluh, bahkan berates-ratus tahun lamanya. 

Desas-desus Nabi Muhammad absurd berhembus semakin kencang hingga orang-orang Makkah pada ketika itu mengetahuinya. Bahkan warta tersebut hingga ke indera pendengaran Dhimad Al-Azdi, seorang dukun dari Azd Syanu’ah dari Yaman. Al-Azdi mendenggar warta Muhammad absurd ketika ia datang di Makkah.

Segera sesudah mendapat kabar itu, Al-Azdi bergegas mencari Rasulullah. Mulanya, ia berkeinginan untuk mengobati Rasulullah semoga sembuh sakit jiwanya. Sebagaimana diketahui, Al-Azdi yakni seorang dukun yang menyampaikan pengobatan dengan cara menghembuskan angin.

Al-Azdi pribadi memperlihatkan pengobatan kepada Rasulullah ketika keduanya bertemu. Jika Rasulullah bersedia dan memerlukannya, maka Al-Azdi akan sangat siap untuk mengobatinya dengan metode hembusan angin.

“Sesungguhnya kebanggaan itu bagi Allah. Kami memuji dan memohon pemberian kepada-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tak seorang pun dapat menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan Allah, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa bergotong-royong tiada ilahi selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad yakni hamba dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah merespon penawaran Al-Azdi tersebut, sebagaimana tertera dalam buku Sirah Nabawiyah (Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, 2012).

Al-Azdi takjub dan terbelalak mendengar apa yang diucapkan Rasulullah. Ia tidak mengira bahwa orang yang katanya absurd dapat melafalkan kata-kata yang begitu menakjubkan. Lalu Al-Azdi meminta Rasulullah untuk mengulangi semua kata-katanya tersebut. Rasulullah menuruti usul Al-Azdi dan mengulanginya hingga tiga kali.



Usai mendengar semua kata-kata Rasulullah tersebut, dukun yang semula hendak mengobati Rasulullah tersebut pribadi menyatakan diri masuk Islam. Al-Azdi mengaku sudah khatam dan menguasai semua kata-kata yang ada dalam kamus. Namun dalam sejarah karirnya sebagai dukun, ia tidak pernah mendengar kata-kata menakjubkan yang diucapkan Rasulullah tersebut keluar dari verbal orang gila, tukang tenun, ataupun seorang penyair.

“Berikanlah tanganmu, biar saya berbaiat atas nama Islam,” kata Al-Azdi kepada Rasulullah. 

Dengan demikian, Al-Azdi lalu menjadi salah satu dari sedikit orang selain penduduk Makkah yang masuk Islam pada awal-awal dakwah Rasulullah.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Seorang nabi atau utusan Allah niscaya dilengkapi dengan mukjizat dalam menjalankan misinya, yaitu menyeru kepada umatnya untuk menyembah Allah. Meski bentuknya berbeda-beda, namun fungsi mukjizat itu sama yaitu sebagai ‘senjata untuk melumpuhkan’ musuh-musuh nabi atau utusan Allah. 

Mukjizat atau kejadian abnormal yang sukar dijangkau nalar sehat insan tidak melulu terjadi kepada seseorang yang sudah diangkat menjadi nabi atau utusan Allah. Terkadang Allah juga memperlihatkan mukjizat kepada seseorang yang nantinya akan diangkat menjadi nabi dan utusan-Nya. 

Rasulullah yaitu salah satunya. Beliau semenjak kecil –sebelum diangkat menjadi seorang nabi dan rasul Allah- sudah mengalami beberapa kejadian menakjubkan yang tidak dapat dicerna nalar manusia. Salah satu kejadian menakjubkan yang dialami Rasulullah dikala kecil yaitu mendatangkan hujan. 

Dikisahkan, bahwa suatu ketika masyarakat Makkah dilanda trend paceklik. Tidak ada hujan. Kekeringan dimana-mana. Kemiskinan melanda siapapun. Penduduk Makkah lalu meminta Abu Thalib (Paman Nabi) untuk berdoa kepada Tuhan biar turun hujan. Maklum, pada dikala itu Abu Thalib merupakan penjaga Ka’bah, sesudah menggantikan ayahnya, Abdul Muthalib, yang wafat.

Merujuk buku Sirah Nabawiyah (Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, 2012), sebagaimana diceritakan Ibnu Asakir dalam kitabnya “Tarikh”, mengemukakan sebuah riwayat dari Julhamah bin Arfathah, Abu Thalib lantas mengajak Rasulullah –yang dikala itu masih kecil- ke sekitaran Ka’bah.

Ketika itu wajah Rasulullah laksana matahari yang membawa mendung. Menampakkan awan yang sedang berjalan pelan-pelan. Singkat cerita, Abu Thalib menempelkan punggung Rasulullah ke dinding Ka’bah. Sementara jari-jarinya memegang Rasulullah.  



Sesaat sesudah kejadian ini, cuaca menjadi berubah total. Langit yang tadinya terperinci benderang berkembang menjadi mendung petang. Tidak usang kemudian, hujan turun dengan begitu lebat. Lembah-lembah menjadi basah. Ladang-ladang yang tadinya kering menjadi subur. Oase-oase juga terisi air kembali.   

Abu Thalib eksklusif memeluk Rasulullah. Ia lantas membacakan sebuah syair pendek ihwal kejadian tersebut. “Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya. Penolong anak yatim dan pelindung perempuan janda,” kata Abu Thalib.

Masyarakat Makkah begitu besar hati sesudah hujan turun. Mereka terhindar dari trend paceklik. Para petani juga balasannya dapat bercocok tanam kembali, sesudah sekian usang tidak dapat alasannya yaitu tidak adanya air.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Rasulullah tetap menjalin kekerabatan baik dengan orang-orang non-Muslim selama mereka tidak mengganggu dakwah Islam. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ada beberapa orang non-Muslim yang mempunyai kekerabatan bersahabat dengan Rasulullah menyerupai Abu Thalib (paman Rasulullah), Abdul Quddus (pembantu Rasulullah yang beragama Yahudi), Mukhairiq (seorang pendeta Yahudi), dan lainnya.

Sebagian dari mereka karenanya ada yang masuk Islam menyerupai Abdul Quddus. Ada juga yang keukeuh memeluk agama yang dianutnya menyerupai Abu Thalib dan Mukhairiq. Meski demikian, Rasulullah tidak mempermasalahkan keimanan mereka. Beliau sadar bahwa urusan hidayat ialah urusan Allah, sementara tugasnya ialah hanya memberikan Islam. 

Oleh karenanya, Rasulullah tetap berafiliasi baik dengan mereka meski beda keyakinan. Rasulullah juga tidak segan untuk mendapatkan santunan dari mereka. Pun mendapatkan hadiah dari orang non-Muslim. Salah satunya mendapatkan hadiah dari Zainab binti al-Harits, seorang Yahudi Khaibar.  

Dikisahkan, bahwa sesudah Perang Khaibar Rasulullah dan pasukan umat Islam tidak eksklusif meninggalkan Khaibar. Mereka tinggal beberapa hari di sana untuk menjaga stabilitas tempat tersebut sesudah terjadi pergolakan. Keadaan perlahan menjadi damai dan aman.

Ketika Rasulullah dan para sobat pulang dari masjid dan hendak menuju ke penginapannya, tiba-tiba Zainab binti al-Harits mencegatnya. Zainab eksklusif menyodorkan domba panggang untuk Rasulullah sebagai hadiah untuknya, bukan sedekah. 

“Wahai Abul Qasim, saya ingin memberi hadiah kepada engkau berupa domba panggang, terima lah,” kata Zainab, sebagaimana dikutip dari buku Para Penentang Muhammad saw. 

Rasulullah pun mendapatkan hadiah domba panggang tersebut. Karena, itu memang hadiah maka Rasulullah menerimanya. Berbeda jikalau itu sedekah, maka Rasulullah akan eksklusif menolaknya. Rasulullah lalu mengajak para sahabatnya untuk menyantap masakan tersebut bersama-sama. Hingga saat hendak menyantap bab paha depan, Rasulullah gres menyadari kalau hidangan itu mengandung racun sesudah melihat kaki domba. Beliau eksklusif memuntahkan domba panggang tersebut. Begitu pun dengan para sahabatnya.  



Ya, Zainab berencana untuk membunuh Rasulullah alasannya ialah alasan ingin balas dendam. Zainab ialah salah satu Yahudi Khaibar yang tidak terima dengan hasil Perang Khaibar. Dalam perang tersebut, beliau kehilangan bapak, paman, dan suaminya yang berjulukan Salam bin Misykam. Hadiah domba panggang tersebut merupakan siasat Zainab untuk menghabisi nyawa Rasulullah. 

Namun terlepas dari itu semua, Rasulullah mendapatkan hadiah meskipun itu datangnya dari orang non-Muslim. Kejadian di atas menjadi fakta sejarah akan hal itu. Rasulullah tidak menolak saat Zainab menyodorkan hadiah tersebut. Bahkan menyambutnya dengan bangga dan mengajak para sahabatnya untuk menikmatinya bersama.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
“Jika engkau memasak sayuran, maka perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah tetangga-tetanggamu dan bagikanlah masakanmu buat mereka,” kata Rasulullah dalam hadits riwayat Ad-Darimi. 

Rasulullah tetap menjalin relasi baik dengan non-Muslim selama mereka tidak mengganggu dakwah Islam. Rasulullah tetap berafiliasi baik dengan mereka –dalam hal relasi sosial- meski beda keyakinan. Rasulullah juga tidak segan untuk mendapatkan atau memperlihatkan sesuatu untuk mereka. Termasuk memberinya makanan.

Alkisah, suatu ketika Aisyah memasak daging kambing untuk program hajatan. Sesuai dengan proposal hadits di atas, Aisyah lantas membagikan masakannya yang sudah matang itu untuk para tetangga dekatnya. 

Semula tidak ada yang salah. Aisyah membagikan makanannya itu untuk tetangga-tetangga dekatnya. Namun Rasulullah yang dikala itu bersama Aisyah bertanya, apakah tetangganya yang berjulukan si A juga sudah diberi makanan.

“Belum, ia itu Yahudi  dan saya tidak akan mengiriminya masakan,” kata Aisyah tegas

Mendengar balasan istrinya yang menyerupai itu, Rasulullah ‘menegurnya’. Beliau tetap menyuruh Aisyah untuk memberi masakan kepada tetangganya itu meski ia seorang Yahudi. Rasulullah menekankan bahwa seorang Muslim tidak seharusnya menentukan dan memilah ketika hendak memperlihatkan sesuatu kepada tetangganya menurut agamanya.



Dalam sebuah hadits, Rasulullah juga menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah sudah semestinya berbuat baik kepada tetangganya. Apapun agama, suku, atau ras tetangganya itu. Bukan malah 'mendiskriminasikan' dengan tidak memberinya makanan, sementara yang sesama agama diberi. 

Tetangga mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Karena rumahnya yang akrab dengan rumah kita maka tetangga lebih mengetahui segala tingkah polah kita, dibandingkan keluarga sendiri yang tinggal berjauhan. Jika ada kesulitan, tentu mereka duluan yang akan membantu.

Oleh karenanya, mereka harus disayangi dan diperlakukan dengan baik. Begitulah perilaku Rasulullah kepada tetangganya. Beliau telah memperlihatkan teladan kepada kita biar tidak mengabaikan tetangga menurut agamanya ketika akan memperlihatkan masakan ataupun sesuatu yang lainnya.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Salah satu pelayan atau budak Rasulullah ialah Abdul Quddus. Dia ialah seorang perjaka Yahudi yang membantu Rasulullah dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Abdul Quddus bertugas untuk menyisir rambut Rasulullah. 

Posisi Abdul Quddus itu –sebagai tukang sisir Rasulullah- pernah dimanfaatkan oleh sekelompok Yahudi yang tidak bahagia dengan Rasulullah. Mereka meminta Abdul Quddus mengambil rambut Rasulullah yang rontok. Abdul Quddus yang ketika itu masih muda tidak menaruh curiga. Ia berikan saja rambut Rasulullah yang rontok kepada mereka. Tanpa ada kecurigaan sedikitpun bahwa itu akan dibentuk untuk mencelakai majikannya. 

Betul saja, rambut Rasulullah tersebut ternyata dijadikan sebagai mediator untuk menyantetnya. Adalah Labid bin al-A’sham yang melaksanakan itu. Namun sayang, usahanya gagal. Santet yang dikirimkannya tidak mempan alasannya ialah Rasulullah dijaga eksklusif oleh Allah.       

Abdul Quddus begitu baik dan perhatian kepada Rasulullah. Ia sehari-harinya selalu melayani Rasulullah dalam menjalankan aktivitasnya. Perbedaan agama dan suku tidak menyebabkan Abdul Quddus benci terhadap Rasulullah. Abdul Quddus mengatakan pelayanan kepada Rasulullah dengan tulus dan ikhlas.

Begitu pun sebaliknya. Rasulullah sangat perhatian kepada pembantunya, termasuk kepada Abdul Quddus. Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad: Kisah Sehari-hari Rumah Tangga Nabi, Rasulullah meluangkan waktunya untuk membesuk Abdul Quddus ketika pembantunya itu jatuh sakit. 

Rasulullah duduk sempurna di atas kepala Abdul Quddus yang terbaring lemas. Rasulullah kasihan dengan melihat kondisi Abdul Quddus alasannya ialah pada ketika itu pembantunya itu tengah sekarat. Beliau kemudian menyeru biar Abdul Quddus memeluk Islam. Abdul Quddus tidak eksklusif meng-iya-kan. Ia meminta izin kepada bapaknya yang ketika itu juga berada dalam satu ruangan. 

“Silakan kau mengikuti pedoman Abul Qasim (Muhammad), ayah rela kau masuk Islam,” jawab ayah perjaka Yahudi itu, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari. Maka Abdul Quddus akibatnya masuk Islam.    

Rasulullah yang mengajak Abdul Quddus tanpa paksaan itu bangga sehabis Abdul memeluk Islam. Rasulullah berdoa biar Abdul Quddus terbebas dari siksa api neraka.



Demikianlah, Rasulullah bersikap kepada para pembantu atau budaknya. Beliau tidak membeda-bedakan pembantu atau budaknya menurut agama atau sukunya. Tidak pula memaksa pembantunya untuk masuk Islam. Melainkan Rasulullah hanya mengatakan kepada pembantunya yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Beliau memperlakukan semua pembantunya dengan baik dan setara. Karena bagi Rasulullah, budak atau pembantu menyerupai saudara sendiri. Maka dari itu, Rasulullah memberi makan dan pakaian untuk para pembantunya menyerupai yang ia makan dan ia pakai. Tidak beda. Begitu pun dengan Abdul Quddus, pelayannya yang seorang Yahudi.

Sebetulnya pelayan atau budak Rasulullah ada banyak, tidak hanya Abdul Quddus. Namun semua budak atau pelayan Rasulullah itu dimerdekakan di kemudian hari.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Rasulullah berkawan baik dengan Mukhairiq dari Kabilah Qainuqa’, seorang pendeta Yahudi yang alim dan kaya raya. Dia mempunyai banyak perkebunan kurma yang terbentang luas di Madinah. Meski berbeda agama, Mukhairiq tidak segan-segan membantu dan menolong Rasulullah. Baik dalam hal moril ataupun materiil.

Bahkan, beliau membela umat Islam ketika orang-orang Yahudi menentang dan melanggar Piagam Madinah. Piagam Madinah ialah sebuah perjanjian bersama lintas iman, lintas suku, dan lintas kelompok di Madinah. Ia berada di barisan Rasulullah ketika terjadi peperangan antara kelompok umat Islam dengan kelompok Yahudi, maupun dengan kafir Quraisy Makkah.

“Karena orang-orang Yahudi telah melanggar Piagam Madinah,” kata Mukhairiq ketika ditanya mengapa beliau berperang bersama Rasulullah, 

Mukhairiq memandang Piagam Madinah harus dipegang erat, alasannya ialah itu ialah perjanjian bersama. Salah satu isi dari piagam tersebut ialah semua warga Madinah harus bersatu, saling mendukung, dan saling melindungi ketika ada serangan dari luar. Namun, sekelompok Yahudi malah bersekutu dengan kafir Quraisy untuk menyerang Rasulullah dan umat Islam. Inilah yang menciptakan Mukhairiq mendukung Rasulullah dan melawan saudara Yahudinya sendiri. Ia tahu, dalam hal ini Rasulullah dan umat Islam ialah kubu yang benar.

Mukhairiq juga menolong Rasulullah dan pasukan umat Islam ketika Perang Uhud. Ia memutuskan untuk ikut berperang bersama Rasulullah dan umat Islam melawan kafir Quraisy. Tidak hanya itu, Mukhairiq juga menyerukan dan mengajak Yahudi Madinah untuk berperang bersama Rasulullah melawan kafir Quraisy. Yahudi Madinah menolak alasannya ialah pada ketika itu Hari Sabat, salah satu hari raya umat Yahudi.

“Tidak ada perayaan Hari Sabat bagi kalian!” kata Mukhairiq, sebagaimana yang terekam dalam kitab Sirah Nabawiyyah (Ibn Hisyam al-Mu’afiri,1994). 

Sebelum berangkat ke medan Perang Tabuk, Mukhairiq menciptakan sebuah pengumuman penting. Sebuah pengumuman yang menegaskan bahwa dirinya sangat mendukung sahabatnya, Rasulullah. Ia mengumumkan bahwa hartanya akan diberikan kepada Rasulullah manakala beliau meninggal dalam Perang Tabuk. 



Benar saja, Mukhairiq meninggal sehabis terkena luka parah dalam Perang Uhud. Semua hartanya pun diterima Rasulullah. Nantinya, harta sumbangan Mukhairiq ini dipakai Rasulullah untuk membiayai umat Islam di Madinah. Baik untuk biaya perang maupun biaya kehidupan sehari-hari.

Pada ketika mengetahui Mukhairiq meninggal, Rasulullah mengeluarkan sebuah komentar yang cukup menarik. Kata Rasulullah, Mukhairiq ialah sebaik-baik orang Yahudi (Mukhairiq khairul yahud).

Demikian cerita Rasulullah dengan Mukhairiq, sahabatnya yang Yahudi. Perbedaan keyakinan dan latar belakang tidak menciptakan mereka saling bermusuhan. Mereka tetap menghormati satu sama lain dan menjalin persahabatan, meski Mukhairiq tidak memeluk Islam sampai tamat hayatnya.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Keluarga Arab kota mempunyai kebiasaan untuk menitipkan anak mereka yang gres lahir kepada wanita desa atau gurun untuk disusui. Hal ini dilakukan biar anak mereka terhindar dari penyakit yang ada di wilayah perkotaan, biar anaknya mempunyai badan yang sehat, dan biar belum dewasa mereka fasih dalam berbahasa Arab.

Begitu pun dengan Sayyidah Aminah. Ia menitipkan anaknya, Nabi Muhammad, kepada Halimah as-Sa’diyah beberapa ketika sesudah melahirkannya. Maka semenjak ketika itu, Nabi Muhammad tinggal bersama keluarga Halimah di perkemahan daerah Bani Sa’ad. Beliau tumbuh di daerah tersebut dan jauh dari ibunya yang berada di kota Makkah.

Sebetulnya Halimah ingin biar Nabi Muhammad tinggal bersamanya. Alasannya, Halimah mengalami kehidupan yang lebih baik selama merawat Nabi Muhammad. Hewan ternaknya menjadi gemuk-gemuk dan penuh dengan susu. Ia merasa Nabi Muhammad ialah pembawa berkah bagi keluarganya. Sehingga ia meminta izin kepada Sayyidah Aminah biar memperpanjang masa kebersamaannya dengan Nabi Muhammad.

Namun cita-cita Halimah itu sirna sesudah mendengar dongeng wacana ‘kejadian aneh’ yang menimpa anak asuhnya itu menyerupai Nabi Muhammad dibelah dadanya. Ia khawatir dan tidak ingin anak asuhnya itu kenapa-kenapa, maka karenanya Halimah menyerahkan kembali Nabi Muhammad kepada Sayyidah Aminah. Jadilah semenjak ketika ini Nabi Muhammad melalui hari-harinya bersama ibundanya, Sayyidah Aminah.  



Merujuk buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Martin Lings, 2012), Rasulullah hidup bersama ibunya selama tiga tahun, atau hingga beliau berusia enam tahun. Selain mendapat perhatian penuh dari ibundanya, Rasulullah juga mendapat perhatian dari kakek, paman, bibi, dan sepupu-sepupunya. 

Meski sudah dikaruniai seorang anak yang begitu cemerlang, Sayyidah Aminah masih saja terkenang dengan almarhum suaminya, Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib. Maka ketika Nabi Muhammad berusia enam tahun, Sayyidah Aminah mengajak putranya itu untuk berziarah ke makam  Sayyid Abdullah di Yatsrib (Madinah). 

Sayyidah Aminah mengajak serta Ummu Aiman atau Barakah –budak warisan dari suaminya- untuk menemani perjalanannya ke Yatsrib. Mereka ikut serta bersama dengan sebuah kafilah untuk hingga di Yastrib. Sayyidah Aminah menaiki untanya sendiri, sementara Ummu Aiman bersama Nabi Muhammad menaiki unta yang satunya lagi. 

Nabi Muhammad tampak murung ketika hingga di kuburan ayahandanya. Tidak hanya itu, selama di Yatsrib Sayyidah Aminah juga mengenalkan Nabi Muhammad dengan paman-pamannya dari Bani Adi bin Najjar. Sebagaimana keterangan buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, 2012), Sayyidah Aminah dan Nabi Muhammad berada di Yatsrib selama sebulan.

Kunjungan yang tidak terlalu usang itu ternyata menciptakan Nabi Muhammad cukup terkesan. Seperti diuraikan buku Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah (Nizar Abazhah, 2011), Nabi Muhammad melaksanakan banyak aktivitas selama di Yatsrib. Mulai dari berenang di bak Adi –sebuah bak terindah di daerah Yatsrib- pada ketika itu, bermain-main di kebun-kebun, menerbangkan layang-layang, dan mencabut rumput di jalan-jalan.

Setelah satu bulan berlalu, mereka karenanya pulang kembali ke Makkah. Namun siapa sangka, Sayyidah Aminah jatuh sakit di tengah perjalanan ketika hingga Abwa’ –sebuah desa yang jaraknya sekitar 140 km dari Madinah ke Makkah-. Ini menjadi momen kebersamaan Rasulullah dengan ibundanya yang terakhir. Karena beberapa ketika sesudah menahan rasa sakit, Sayyidah Aminah karenanya wafat. 

Sesaat sebelum wafat, Sayyidah Aminah berpesan kepada Ummu Aiman –budakya yang ikut dalam perjalanan- untuk menjaga dan merawat Nabi Muhammad. ummu Aiman melaksanakan wasiat Sayyidah Aminah itu dengan baik, ia mengantarkan Nabi Muhammad ke Makkah dengan selamat. Ummu Aiman juga sangat sayang dan perhatian kepada Nabi Muhammad sehingga dikenal sebagai ibu kedua Nabi Muhammad.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Biasanya orang yang mempunyai kedudukan ingin diistimewakan, dihormati, dan dilayani. Sebagai seorang pemimpin misalnya, dia bebas sekehendak hati memerintahkan anak buahnya untuk melaksanakan ini dan itu. Tanpa dia ikut mengerjakannya. Mungkin itu sudah menjadi ‘watak’ atau ‘karakter’ orang yang mempunyai jabatan. Mereka selalu merasa di atas dan harus diistimewakan.    

Namun Rasulullah tidaklah demikian. Meski ia ialah seorang pemimpin agama dan negara, seorang Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, tetapi Rasulullah tidak pernah meminta kepada para sahabat dan umatnya untuk diistimewakan. 

Rasulullah bergaul dengan para sahabatnya tanpa ada sekat yang memisahkannya. Jika memerintahkan sahabatnya untuk melaksanakan suatu hal, Rasulullah juga ikut terlibat di dalamnya. Bahkan, Rasulullah menunjukkan pola terlebih dahulu sebelum menyuruh sahabatnya untuk melaksanakan suatu hal.

Sebagaimana keterangan dalam buku Akhlak Rasul Menurut Bukhari Muslim, diceritakan bahwa suatu hari Rasulullah dan para sahabatnya akan memasak kambing bersama-sama. Rasulullah lantas membagi kiprah untuk para sahabatnya. Ada yang bertugas menyembelih kambing, mengulitinya, menyiapkan tungku, menyiapkan air, dan memasaknya. 

Awalnya para sahabat hening alasannya ialah semuanya kebagian tugas. Namun suasana eksklusif riuh manakala Rasulullah menyampaikan jikalau dirinya yang akan mencari dan mengumpulkan kayu bakar. Para sahabat ‘tidak terima’ dengan hal itu. Mereka meminta Rasulullah semoga berdiam diri dan menunggu saja. Tidak perlu ikut bekerja. Apalagi mencari kayu. Tugas itu biar dikerjakan orang lain saja. Kata para sahabat dengan nada memprotes.

“Saya tahu kalian dapat menuntaskan pekerjaan ini, tapi aku tidak suka diistimewakan,” jawab Rasulullah dengan tegas. Rasulullah lantas mengungkapkan bahwa Allah tidak suka melihat seorang hamba-Nya diistimewakan dari teman-teman yang lainnya. 



Begitulah Rasulullah. Kedudukan dan statusnya yang begitu agung tidak lantas menjadikannya arogan. Buta akan penghormatan. Dan selalu minta diistimewakan. Beliau seolah menunjukkan pola bahwa seorang pemimpin tidak cukup dengan hanya menunjukkan isyarat apa yang harus dikerjakan anak buahnya, kemudian kemudian berdiam diri dan ongkang-ongkang. Jika tidak benar, maka ia akan memarahi anak buahnya habis-habisan.

Tidak ibarat itu. Bagi Rasulullah, seorang pemimpin harus ikut turun ke bawah. Kalau perlu berkeringat sebagaimana anak buahnya berkeringat dan memastikan semua yang dikerjakan anak buahnya berjalan dengan baik dan lancar.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Rasulullah yakni insan sama menyerupai yang lainnya, tapi bukan insan biasa. Maksudnya, dia yakni seorang Nabi dan Rasul Allah yang mendapatkan wahyu. Beliau terjaga (ma’shum) dari melaksanakan perbuatan-perbuatan dosa, sementara insan biasa tidak. 

Sementara persamaannya dengan insan pada umumnya, Rasulullah juga berumah tangga, beristirahat, makan, dan minum. Dalam hal hidangan misalnya, Rasulullah mempunyai kuliner favorit sebagaimana insan lainnya. Lalu apa saja kuliner yang digemari Rasulullah? 

Kalau merujuk pada beberapa hadits, ada beberapa kuliner atau hidangan yang disukai Nabi, bahkan sangat digemarinya. 

Pertama, tharid atau kuliner kaldu dengan isian utamanya kacang chickepa (himmis). Boleh dikata, tharid merupakan hidangan paling favorit Rasulullah. Sampai-sampai, Rasulullah ‘mengumpamakan’ keunggulan tharid dengan kuliner lainnya -sama menyerupai Fatimah- dengan wanita lainnya.

“Sama menyerupai tharid yang lebih sedap ketimbang semua masakan, begitu pula Fatimah yang lebih ahli dibandingkan semua perempuan,” kata Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari. Hal ini juga disebutkan dalam buku Medieval Cuisine of the Islamic World: A Concise History with 174 Recipes (Lilia Zaouali, 2007).

Kedua, daging bab kaki dan paha kambing. Rasulullah juga sangat menggemari daging kambing, khususnya bab lengan atau kaki depan dan pahanya. Menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Qadhi Iyadh, Rasulullah menyukai daging bab kaki dan paha alasannya yakni bab itu aromanya yang khas, rasanya yang manis, dan jauh dari kawasan berbahaya. Meski demikian, tidak diketahui lebih rinci bagaimana daging tersebut dimasak. Apakah disemur, digulai, dibakar, direndang, atau yang lainnya. 

Ada sebuah ‘cerita menarik’ wacana daging kambing dan Rasulullah. Merujuk buku Para Penentang Muhammad saw., suatu dikala Rasulullah pernah mendapatkan hadiah daging kambing panggang dari Zainab binti al-Harits, seorang Yahudi Khaibar. Rasulullah menerimanya dengan gembira. Alasannya, Zainab menegaskan bahwa itu yakni hadiah, bukan sedekah. Di samping itu, daging kambing panggang yakni hidangan favorit Rasulullah sehingga dia menerimanya dengan bahagia hati. Namun ternyata, daging kambing panggang tersebut beracun. Rasulullah gres menyadari bila hidangan itu mengandung racun sesudah melihat kaki domba. Beliau eksklusif memuntahkan domba panggang tersebut.  

Ketiga, talbinah. Talbinah yakni sejenis sup yang terdiri dari lemak, gandum, madu, dan sayur hijau. Merujuk buku Sehat Ala Nabi: 365 Tips Sehat Sesuai Ajaran Rasulullah (Mohammad Ali Toha Assegaf, 2015), talbinah baik untuk untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mengembalikan keseimbangan badan yang terganggu,dan menunjukkan kekuatan alasannya yakni mengandung energi yang tinggi.



Keempat, roti gandum. Dikisahkan bahwa suatu dikala Rasulullah mengajak Jabir bin Abdullah ke rumah salah satu istrinya. Ketika mereka berdua sampai, istri Rasulullah mengeluarkan roti gandum. Rasulullah dan Jabir memakan roti gandum tersebut bersama dengan cuka. 

“Ini yakni kuliner terbaik penduduk dunia dan penduduk akhirat”, kata Rasulullah dikala diberi hidangan roti gandum sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah.

Itulah beberapa hidangan yang disukai Rasulullah. tentu masih banyak jenis kuliner lainnya yang digemari Rasulullah. Kalau dari segi buah-buahan, ada kurma, anggur, semangka, delima, buah ara atau tin, dan melon. Sementara untuk minuman, Rasulullah menyukai susu, madu, jahe, dan air zamzam.

Meski demikian, Rasulullah tidak pernah ‘memuaskan diri’ dengan makanan-makanan favoritnya itu. Beliau makan dikala lapar dan berhenti sebelum kenyang. Makan sekedarnya saja. Tidak lantas memenuhi perut dengan kuliner yang disukainya. Rasulullah mengingatkan kepada umatnya biar menjaga isi perutnya: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara atau nafas.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Alkisah, suatu ketika Rasulullah berada di suatu daerah di Makkah bersama dengan Rukanah bin Abdi Yazid bin Hisyam bin al-Muthalib bin Abdi Manaf, orang yang tenaganya paling berpengaruh di kalangan Quraisy. Rukanah mempunyai tubuh dan perawakan yang kekar dan besar, meski demikian ia sangat lincah. Ia juga jago gulat. Tidak ada seorang pun yang berhasil menjatuhkannya ke tanah.

Ketika berdua dengan Rukanah tersebut, Rasulullah menyerunya supaya masuk Islam. Kata Rukanah, ia akan mengikuti Rasulullah kalau dirinya tahu bahwa yang dibawa dan dikatakan Rasulullah yakni sesuatu yang benar.

Rasulullah lantas menantang Rukanah gulat. Ada riwayat yang menyebut kalau Rukanah-lah yang menantang Rasulullah. Kalau Rasulullah menang, maka Rukanah harus mengakui bahwa apa yang dibawa dan dikatakan Rasulullah benar. Sebagai seorang petarung, Rukanah tertarik dengan kata-kata Rasulullah itu. Ia menyambut tantangan dari Rasulullah.

Aturan dari ‘permainan’ ini yakni siapa yang roboh duluan maka ia yang kalah. Rasulullah menyiapkan kuda-kuda. Begitu pula Rukanah. Kemudian mereka saling serang dan saling menjatuhkan. Setelah melaksanakan beberapa gerakan, Rasulullah berhasil mengunci tubuh Rukanah. Seketika itu, Rasulullah menjatuhkan tubuh Rukanah ke tanah.

Tidak terima dengan itu. Rukanah menantang Rasulullah lagi untuk gulat. Tantangan itu disambut baik oleh Rasulullah. Setelah berhasil memiting Rukanah, Rasulullah lagi-lagi berhasil menjatuhkan tubuh Rukanah untuk yang kedua kalinya dan ketiga kalinya. Sang jago gulat merasa aneh, bagaimana mungkin seorang Muhammad sanggup mengalahkannya begitu gampang tiga kali berturut-turut. 



“Ada yang lebih gila dari itu. Jika engkau mau menundukkan diri dan takut kepada Allah serta menuruti perintahku, akan kuperlihatkan kepadamu yang jauh lebih gila daripada itu,” kata Rasulullah.

“Apakah itu?” tanya Rukanah.

Rasulullah lalu memanggil pohon yang lalu bergerak hingga berada sempurna di depannya. Beberapa ketika kemudian, Rasulullah memerintahkan supaya pohon itu kembali ke daerah asalnya. Kejadian ini menciptakan Rukanah terheran-heran.  Ia lalu pergi ke kaumnya dan menceritakan apa yang dialaminya bersama Rasulullah.

“Hai Bani Abdi Manaf, teman kalian itu (Muhammad) sanggup menyihir semua penghuni bumi ini. Demi Allah, saya tidak pernah melihat ada tukang sihir sehebat dia,” kata Rukanah dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam sebagaimana dikutip Hubbur Rasul (Taufik Anwar, 2012).

Rupanya hidayah belum hingga di hati Rukanah. Ia tidak menepati janjinya tersebut, yakni memeluk Islam sehabis kalah gulat dengan Rasulullah.  namun hidayah itu hasilnya datang. Dikisahkan bahwa ketika Fathu Makkah, Rukanah menemui Rasulullah dan hasilnya masuk Islam. 

“Demi Allah, saya mengetahui kalau engkau bergulat denganku, engkau akan menerima pinjaman dari langit,” kata Rasulullah. Rukanah lalu pindah ke Madinah dan menetap di sana hingga masa kekhalifahan Muawiyah.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU