Syekh Muhammad Nawawi Banten mengutip dongeng Sayyidina Ali ra. ihwal besarnya perhatian Islam terhadap belum dewasa dan dunianya. Syekh Muhammad Nawawi Banten menggarisbawahi arti penting kasih sayang untuk anak-anak.

Sayyidina Ali ra. bercerita bahwa salah seorang pernah mendatangi Rasulullah saw. Orang ini menyatakan legalisasi dosanya di hadapan Rasulullah saw. Kepada Rasulullah saw., ia meminta pembebasan dan penyucian atas dosanya.

“Wahai Rasulullah, saya telah berlumuran dosa. Sucikanlah diriku,” kata orang itu.

“Apa dosa yang kaulakukan?” sahut Rasulullah

Orang ini enggan menyatakan dosa yang dia lakukan.

“Aku aib mengatakannya.” terperinci orang itu

Wajah Rasulullah saw. memerah. Lalu dia mengusir orang tersebut. Rasulullah saw. tidak sudi menerimanya.

“Apakah engkau aib mengabarkan dosamu kepadaku, tetapi tidak aib kepada Allah yang melihatmu? Keluarlah engkau semoga api celaka tidak menimpa kami,” tandas Rasulullah

Laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan Rasulullah. Ia menangis sedih. Ia merasa frustasi dan sia-sia alasannya yaitu Rasulullah saw. menolaknya.

Saat itu juga, malaikat Jibril as. tiba kepada Nabi Muhammad saw. Ia menegur Rasulullah saw. alasannya yaitu sejatinya orang itu mempunyai amal tertentu yang menjadi keinginan atas penyucian dosanya (kaffarat) sebagaimana dongeng Sayyidina Ali ra.

“Malaikat Jibril kemudian tiba dan menegur, ‘Wahai Muhammad, mengapa Anda menciptakan frustasi orang yang bermaksiat, sementara ia mempunyai amal yang sanggup menghapus dosanya (kaffarat)’. ‘Apa kaffaratnya?’ tanya Rasulullah saw. ‘Ia mempunyai anak kecil. Bila masuk ke dalam rumah pria itu dan menemuinya, ia memberikannya makanan atau sesuatu yang membahagiakannya. Kalau anak itu bahagia, maka itu menjadi kaffarat baginya,’ jawab malaikat Jibril as.,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qamiut Thughyan, halaman 26).



Cerita ini menegaskan bahwa belum dewasa dan dunianya mendapat prioritas utama dalam Islam, sesuatu yang selama ini tidak mendapat perhatian istimewa dalam aliran Islam. Perhatian yang rendah terhadap belum dewasa dan dunianya ini yang menjadikan banyak masjid dan akomodasi umum lainnya belum ramah anak.

Oleh karenanya, Rasulullah saw. pada sebagian sabdanya menyampaikan bahwa seorang Muslim sanggup meraih derajat penyayang jikalau ia mengasihi banyak orang, bukan hanya dirinya dan orang di lingkungannya saja.

Rasulullah saw. bersabda: “Penyayang itu bukanlah yang mengasihi dirinya dan keluarganya saja. Penyayang itu yaitu mereka yang mengasihi semua umat Islam,’” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qamiut Thughyan, halaman 26).

Kata “semua umat Islam” di sini merupakan lafal umum. Dengan demikian, “umat Islam” di sini meliputi anak-anak, bukan hanya mereka yang dewasa. 

Wallahu A‘lam.


Sumber: Situs PBNU
Nabi Muhammad saw. tidak hanya mengajarkan sikap baik kepada Allah swt. saja namun juga mengajarkan akhlak yang indah terhadap sesama. Berperilaku baik kepada sesama pun tidak terbatas kepada orang muslim saja. Banyak hadits yang menyatakan bahwa Baginda Nabi tidak memperlihatkan spesifikasi agama yang dipeluk orang lain dalam ranah urusan-urusan sosial. 

Contohnya yaitu dalam problem bertetangga. Suatu ketika istri Rasul, Sayyidah Aisyah radliyallâhu ‘anhâ meminta petunjuk Nabi.

“Wahai Rasulullah, saya memiliki dua tetangga. Kepada siapa saya perlu memperlihatkan hadiah? Rasul menjawab, ‘Kepada orang yang pintunya paling erat darimu’.” (HR. Bukhari) 

Memberikan hadiah bukanlah sebuah kewajiban. Namun apabila ada satu barang, dengan dua jumlah tetangga atau lebih, prioritas target pinjaman jatuh pada tetangga yang pintunya paling erat dari rumah si pemberi. 

Rasulullah tidak menyarankan pilihlah agamanya yang paling Islam, tidak. Rasul menyarankan yang paling dekat. Sebab Rasulullah sedang mengajarkan ihwal hak-hak bertetangga. Sedangkan kita tidak sanggup lepas dengan peranan tetangga.

Dalam satu kesempatan, ada sobat yang bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad saw.: “Sesungguhnya Fulanah melaksanakan ibadah malam dengan rutin, ia juga bersedekah, tapi ia menyakiti tetangga-tetangganya dengan mulutnya”. Rasul pun kemudian menjawab: “Ia tak punya kebaikan sama sekali. Dia termasuk andal neraka.”

Rasul ditanya lagi, si Fulanah itu shalat hanya yang wajib-wajib saja. Dia menyedekahkan beberapa potong roti keju, namun beliau tidak pernah menyakiti hati tetangganya. Rasul kemudian menjawab, ‘Dia termasuk andal surga’.” (Lihat: Al-Baihaqi, Syu’abul Îmân, juz 12, halaman 94).

Hadits di atas sanggup memperlihatkan pemahaman kepada kita bahwa pintu nirwana tidak hanya terbuka melalui satu jalan ibadah vertikal saja. Tapi harus dikomparasikan dengan kekerabatan baik secara horisontal. Ibadah malam, berpuasa di siang hari itu sangat baik apabila dibarengi dengan kekerabatan sosial yang bagus, terutama dalam problem bertetangga.

Dalam bertetangga, Rasul juga pernah berpesan kepada Abu Dzar, untuk memperbanyak kuah dikala memasak. Tujuannya, walaupun material masakan sedikit, apabila dipadu kuah yang banyak, tetap sanggup membuatkan kepada tetangga sebelah.



Ada lima pesan penting Rasulullah saw. kepada Abu Hurairah yang perlu kita perhatikan: “Hindarilah segala macam bentuk kasus yang haram, pasti kau akan menjadi orang yang paling beribadah kepada Allah. Relakan atas apa yang Allah bagikan kepadamu, kau akan menjadi orang yang paling kaya. Perbaikilah hubunganmu dengan tetangga, kau akan jadi orang yang beriman. Cintailah insan sebagaimana kau menyayangi diri kau sendiri, kau pasti akan jadi orang muslim sejati. Janganlah kau memperbanyak tertawa, bahwasanya tertawa itu sanggup menjadikan hati mati.” (HR. Ahmad)

Pada hadits yang masyhur, dikatakan: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangga.” (HR. Bukhari)

Dua hadits ini memperlihatkan pemahaman kepada kita bahwa ada kekerabatan yang erat antara keimanan seseorang dengan kekerabatan sosial, terutama bertetangga. Oleh alasannya yaitu itu, tidak heran jikalau ada orang rajin ibadah namun kekerabatan bertetangganya sangat buruk, menjadikan beliau masuk neraka sesuai sabda Nabi Muhammad saw. di atas. Na’ûdzu billâh min dzâlik.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Rasulullah merupakan sumber kebenaran alasannya ia mendapatkan wahyu pribadi dari Allah. Apapun yang dilakukannya yaitu suri contoh yang harus diikuti, kecuali hal-hal tertentu yang memang dikhususkan untuk Rasulullah. Apapun yang diucapkannya yaitu wahyu yang mengandung kesahihan. 

Rasulullah merupakan sumber ilmu. Sehingga bila para sahabatnya menemukan suatu hal yang janggal, maka mereka akan mengadukannya kepada Rasulullah untuk meminta solusi. Tidak hanya soal keagamaan, Mereka juga bertanya perihal hal-hal lainnya. Permasalahan rumah tangga misalnya.  

Dalam buku Kisah-kisah Romantis Rasulullah (Ahmad Rofi’ Usmani, 2017), dikisahkan bahwa suatu ketika seorang Badui dari Bani Fazarah mendatangi Rasulullah. Ia mengadu perihal istrinya yang gres saja melahirkan seorang bayi yang berkulit hitam. Seorang Badui tersebut tidak terima.  Ia tidak mau mengakui anak itu alasannya kulitnya tidak sama dengan dirinya, yang tidak hitam.

“Anak itu terperinci bukan anakku,” tegasnya.

Rasulullah tidak pribadi meresponsnya. Beliau membisu sejenak. Setelah amarah orang Badui tersebut sudah stabil, Rasulullah gres menjawabnya. Menariknya, Rasulullah tidak pribadi menjawab kalau anak itu yaitu anak si Badui atau tidak. Akan tetapi Rasulullah memberikan perumpamaan kepada si Badui dalam menuntaskan kasus tersebut.

Mula-mula Rasulullah bertanya kepada si Badui “Apakah ia memiliki unta?”. “Punya”, kata si Badui. Rasulullah lalu bertanya perihal warna dari unta si Badui. “Warnanya merah wahai Rasulullah”, sambung si Badui. Lagi-lagi Rasulullah kembali bertanya, “Apakah belum dewasa dari untamu itu ada yang berwana abu-abu?”. Si Badui menjawab bahwa anak dari untanya ada yang berwarna abu-abu sebagaimana yang ditanyakan Rasulullah.

“Dari mana asalnya anaknya yang berwarna abu-abu itu?”, kata Rasulullah kembali mengajukan pertanyaan kepada si Badui.



Si Badui menjawab dengan sekenanya kalau anak untanya yang berwarna abu-abu itu -sementara untanya sendiri berwarna merah- sanggup saja berasal dari asal keturunannya. Dari sini lalu Rasulullah mengumpamakan anak Badui yang hitam itu. Dengan nada yang santun Rasulullah menyampaikan kalau anak Badui yang berkulit hitam itu sanggup saja ‘turunan’ dari nenek moyangnya, sebagaimana untanya tersebut.

“Sahabatku, anakmu pun begitu. Mungkin nenek moyangnya ada yang berkulit hitam,” kata Rasulullah. Setelah mendengar klarifikasi Rasulullah, si Badui risikonya mau mendapatkan anaknya yang kulitnya tidak sama dengan dirinya itu. 

Demikian Rasulullah menjawab dilema dari umatnya. Kalau ketika ini mungkin praktis saja. Tinggal dites DNA-nya. Namun ketika itu ilmu pengetahuan belum berkembang secanggih menyerupai ketika ini. Kaprikornus Rasulullah memakai perumpamaan-perumpamaan yang relevan dan praktis dicerna umatnya. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Seorang sahabat mengenang Rasulullah saw. sebagai insan yang terbaik secara khalq dan khuluq.Maksud khalq yakni ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisik. Sementara khuluq yakni ciptaan Alllah yang bersifat batiniah. Dengan demikian, Rasulullah yakni seorang yang terbaik, baik secara fisik maupun akhlak.  

Testimoni ihwal keagungan, khususnya adab Rasulullah juga tiba dari Allah pribadi dalam QS. Al-Qalam: 4. Di situ disebutkan bahwa Rasulullah mempunyai adab yang sangat agung (Wa innaka la’ala khuluqin adzim). Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat sifat-sifat suri contoh yang baik. 

Rasulullah menjadi contoh bagi umatnya dalam segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam urusan ibadah, tapi juga urusan-urusan lainnya ibarat berteman, bertetangga, bahkan hingga berumah tangga. Termasuk tetap bersikap baik kepada istri dan tidak menyakitinya, meski apa yang diperbuat istri tidak sesuai dengan apa yang ia ‘kehendaki.’ Rasulullah telah memperlihatkan contoh ihwal hal itu. 

Dalam buku Kisah-kisah Romantis Rasulullah (Ahmad Rofi’ Usmani, 2017), disebutkan bahwa Rasulullah pernah menolak kuliner istrinya yang tidak sesuai dengan seleranya. Meski demikian, Rasulullah menolaknya dengan cara yang baik dan halus sehingga tidak hingga menciptakan istrinya sakit hati.



Begini ceritanya, pada hari itu Rasulullah mengajak Khalid bin Walid menemui salah satu istrinya, Maimunah bin Harits. Sebagaimana diketahui, Maimunah yakni saudara wanita ibu Khalid, Lubabah al-Sughra binti Harits. Dengan demikian, Khalid yakni keponakan dari Maimunah, istri Rasulullah.

Ketika Rasulullah dan Khalid tiba di bilik Maimunah, istri Rasulullah itu menuju ke dapur dan memasak daging dhabb (sejenis biawak) yang diperoleh dari saudaranya yang tinggal di Nejd, Hafidah binti Harits. Selang beberapa waktu, Maimunah berhasil menuntaskan masakannya. Ia pribadi menghidangkan masakannya itu untuk Rasulullah dan Khalid.

Pada ketika Rasulullah menjulurkan tangannya untuk mengambil hidangan Maimunah itu, seseorang tiba-tiba memperlihatkan gosip bahwa itu yakni daging dhabb. Segera saja Rasulullah pribadi menarik kembali tangannya. Beliau tidak jadi memakan kuliner Maimunah itu.

Khalid yang berada di samping Rasulullah penasaran. Ia lalu bertanya kepada Rasulullah perihal daging dhabb itu. Apakah halal atau haram? Dan mengapa Rasulullah mengurungkan niatnya untuk mengambilnya dan tidak jadi memakannya?

“Daging dhabb tidak haram. Hanya saja daging dhabb ini tidak terdapat di tempat kaumku. Karena itu saya kurang merasa berselera untuk memakannya,” kata Rasulullah dengan nada halus dan santun.

Setelah mendengar klarifikasi itu, Khalid –yang memang doyan dengan dhabb- pribadi memakan kuliner yang dihidangkan Maimunah itu. Ia memakannya dengan begitu lahap. Sementara Rasulullah hanya melihatnya dan tidak melarang Khalid untuk berhenti memakannya.

Demikian cara Rasulullah menolak kuliner istri yang tidak sesuai dengan seleranya. Beliau memakai alasan yang sanggup diterima oleh istrinya. Cara menyampaikannya pun dengan santun dan halus sehingga istrinya tidak marah.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Sosok KH. Abdurrahman Wahid tidak dapat dilepaskan kiprahnya dalam menawarkan spirit kemanusiaan di tanah Papua dari segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi, dan krisis di segala bidang. Papua membutuhkan sekaligus mencintai Gus Dur.

Menurut keterangan seorang santri Gus Dur asal Kudus, Nuruddin Hidayat (2018), pada 30 Desember 1999 atau sempurna dua bulan sepuluh hari sehabis dilantik menjadi Presiden keempat RI, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya dengan dua tujuan, yaitu untuk berdialog dengan aneka macam elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.

Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam obrolan dengan aneka macam elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang tiba sebab penjagaan tidak ketat.

Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia sampai yang memuji tapi dengan aneka macam tuntutan.

Selanjutnya Presiden berbicara merespon mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting ini, "Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua," kata Gus Dur. “Alasannya?” lanjut Gus Dur

"Pertama, nama Irian itu jelek," kata Gus Dur. "Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu dikala orang-orang Arab tiba ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian."

Gus Dur kemudian melanjutkan, "Kedua, dalam tradisi orang Jawa jikalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya agar sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya kini ganti Irian Jaya menjadi Papua."

Seorang Antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata Irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya (kalau tidak ketemu, tidak berarti tidak ada kan?). Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan duduk kasus rumit dan besar menyerupai duduk kasus Papua dengan humor.



Sohibul riwayah, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur memakai alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba "menenangkan" hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melaksanakan protes.

Selain hormat dengan teladan, prinsip, dan keberanian Gus Dur, Manuel Kaisiepo (2017) mempunyai cerita. Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia kurun Presiden Megawati itu mengisahkan, dikala Kongres Rakyat Papua akan diselenggarakan, maka Gus Dur menyetujui kongres tersebut dilaksanakan.

Ketika kongres itu mau diadakan, semua orang protes. Itu separatis. Tetapi presiden (Gus Dur) menyetujui kongres itu diadakan. Bahkan, Gus Dur juga akan membantu terselenggaranya program kongres tersebut, yaitu dengan menawarkan pemberian pendanaan. Ini langkah Gus Dur yang dianggapnya nyeleneh, lain daripada yang lain.

Saat Gus Dur menemui kelompok separatis tersebut, banyak orang yang protes dan mengira bahwa Gus Dur menyetujui keberadaan mereka.

Gus Dur menegaskan bahwa semua yang ada di Papua ialah saudara-saudara dirinya, saudara sebangsa dan sesama manusia. Hal ini dilakukan Gus Dur tak lain untuk membangun iktikad masyarakat Papua kepada pemerintah.


Sumber: Situs PBNU
Sebagaimana kita dengar, sering termaktub dalam buku-buku sekolah, bahwa Islam masuk di Indonesia melalui jalur perdagangan Gujarat. Bukan cuma itu, tapi taukah Anda, kepulauan Nusantara sudah dikenal semenjak Nabi saw. masih hidup dan para sahabat sudah berdakwah hingga ke Nusantara?

Sabda nabi yang menyampaikan “Ballighu anni walau ayatan,” Sampaikanlah apa yang dari saya walau hanya satu ayat”, membangkitkan semangat para sahabat membuatkan Islam ke banyak sekali daerah. Dalam catatan berikut, terdapat beberapa sahabat Nabi dalam perjalanannya pernah menginjakkan kaki di bumi nusantara.

1.) Pada tahun 625 M, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah tiba dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia. (Sumber keterangan ini sanggup dicek pada: H. Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya hingga sekarang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

2.) Sekitar tahun 626 M, Sahabat Ja'far bin Abi Thalib berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia. (Sumber: Habib Bahruddin CV), 1929, hal. 33).

Selain itu, terdapat sebuah artefak ditemukan bahwa ketika itu di indonesia tepatnya dipulau Jawa yaitu Kalingga, Jepara. Pada tahun 640-650 M ada sebuah kerajaan yang ratunya adil berjulukan Ratu Sima dan anaknya berjulukan Ratu Jayisima.

Ketika itu ada seorang dari tanah Arab yang diutus pada masa Utsman bin Affan dari Bani Umayyah. Bani Umayyah yaitu kekhalifahan Islam pertama (Muawiyah bin Abu Sufyan) sesudah masa Khulafaur Rasyidin.

Lalu singgah di Kalingga-Jepara, kemudian Ratu Sima dan Putrinya masuk Islam dan memerintah dari tahun 646-650 M, dan Islam belum berkembang ketika itu, kemudian ditandai adanya surat-menyurat atau korespondesi antara Ratu Sima pada masa Bani Umayyah untuk didatangkan guru-guru untuk berdakwah. Surat-surat mereka kini tersimpan di Museum Granada, Spanyol.

3.) Sahabat Ubay bin Ka'ab berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah. Sekitar tahun 626 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 35).

4.) Sahabat Abdullah bin Mas'ud berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah sekitar tahun 626 M. (Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay archipelago).

5.) Sahabat Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal, dan putra-putranya Mahmud dan Isma'il, berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sekitar tahun 625 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 38).

6.) Sahabat Akasyah bin Muhsin Al-Usdi, berdakwah di Palembang, Sumatera Selatan dan sebelum Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah sekitar tahun 623 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929;  T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968).

Kemudian pada tahun 718 M, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan putranya Abdul Malik telah menginjakan kaki di Palembang - Sumatra Selatan. Pada waktu itu Palembang dipimpin oleh seorang Raja Sriwijaya yang berjulukan Raja Srindra Varma.

Dakwah Khalifah Umar bin Abdul Aziz menciptakan Raja tertarik kemudian masuk Islam. Terbukti di makamnya tertuliskan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasuulullah. Lalu ditandai juga ada surat-menyurat (korespondensi) antara Raja Srindra Varma dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang juga untuk meminta didatangkannya para guru untuk berdakwah. Yang kini surat-suratnya di simpan di Museum Oxford, inggris.

7.) Sahabat Salman Al-Farisi, berdakwah ke Perlak, Aceh Timur dan kembali ke Madinah sekitar tahun 626 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 39).

Ilustrasi saudagar-saudagar Arab


Sejarawan Agus Sunyoto dalam bukunya "Atlas Walisongo" mengatakan, dari berita-berita yang bersumber dari Dinasti Tang, yang menyebutkan bahwa pada tahun 674 M. saudagar-saudagar Tazhi (Arab) sudah berdatangan ke Kalingga, merupakan satu petunjuk bahwa pada awal zaman Islam, saudagar-saudagar muslim dari Arab sudah mulai masuk wilayah Nusantara.

Namun, hingga berabad-abad kemudian sejarah mencatat bahwa agama Islam di Nusantara lebih banyak dianut oleh penduduk abnormal asal Cina, Arab dan Persia. Berdasarkan catatan Marcopolo yang kembali dari Cina lewat maritim teluk Persia menyebutkan bahwa pada kurun ke-13 hanya penduduk abnormal itu yang memeluk Islam di Nusantara. Catatan dari juru tulis Cheng Ho juga menyebutkan hal serupa. Tahun 1433 M. penduduk pribumi Nusantara masih belum memeluk Islam.

Agus Sunyoto mencatat bahwa pada final kurun ke-15 hingga paruh kurun ke-16 ada sekumpulan tokoh penyebar Islam, Wali Songo. Inilah tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Disebut tonggak alasannya kedatangan saudagar muslim semenjak tahun 674 M tidak serta merta diikuti dengan penyebaran agama Islam kepada penduduk pribumi. Tetapi sesudah Walisongo, Islam berkembang pesat di Nusantara cukup membutuhkan waktu sekitar 50 tahun.

Hal ini alasannya Wali Songo sangat paham dengan kultur sosial yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa mengakibatkan dakwah Islam yang mereka sampaikan diterima secara baik. Mereka masuk sanggup lewat wayang, kidung-kidung lokal yang dimodifikasi dengan subtansi Islam. Banyak hal yang pertanda bahwa dakwah yang mereka lakukan sangat fleksibel sehingga tanpa harus kehilangan substansinya, orang merasa tertarik dengan Islam.

Agus Sunyoto menyebutkan ada sepuluh tokoh Wali Songo. Mereka yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syekh Siti Jenar, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Raden Fatah.

Wallahu A’lam


Sumber: gusdurfile.com
Interaksi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pihak militer di antaranya terjadi dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut. Foto epik Gus Dur salah satunya ketika mengenakan seragam Tentara Nasional Indonesia AL.

Menurut keterangan seorang santri Gus Dur Nuruddin Hidayat (2018), Gus Dur mengenakan Hasta Siempre Comandante dalam peringatan hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia AL ketika Gus Dur menjabat Presiden RI.

Saat itu, seorang perwira dari Korps Marinir Tentara Nasional Indonesia AL dalam sebuah percakapan mengatakan, “Pernah sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI berbicara di depan pasukan Marinir Tentara Nasional Indonesia AL di daerah saya, ia berbicara begini:

"Menyelamlah kalian hingga ke dasar lautan yang terdalam hingga tubuhmu resap oleh kecintaanmu kepada-Nya. Dan jangan palingkan mukamu ke sisi lain jikalau kau belum mengenal apa yang kau perbuat,” tutur Gus Dur.

Dawuh Gus Dur tersebut penting menjadi perhatian bahwa proses persenyawaan insan dengan alam maupun dengan seluruh makhluk ciptaan Allah harus dilakukan. Hal ini juga terkait dengan proses berguru dan memahami ilmu yang terhampar di muka bumi.

Pernyataan Gus Dur itu juga menyoroti tradisi dan proses instan dalam proses berguru dan memahami ilmu. Hal ini tersirat dalam kalimat kedua dari dawuh di atas. Proses penggalian ilmu dan proses berguru harus bersifat dawam atau terus-menerus dan berkelanjutan ketika seseorang belum memahami ilmu tersebut.

Selain wisdom di atas, Gus Dur juga memiliki kisah lucu dengan Tentara Nasional Indonesia AL. Gus Dur yakni pemimpin bangsa yang menggagas lahirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (dulu Departemen Kelautan dan Perikanan).

Alasan Gus Dur sederhana, dua pertiga wilayah RI yakni laut. Dan dalam sejarah, bangsa Nusantara yakni bangsa maritim. Benteng utama pertahanan maritim Indonesia dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia AL dengan Marinir sebagai pasukan elitnya. 



Dalam buku The Wisdom of Gus Dur: Butir-Butir Kearifan Sang Waskita (2014), suatu ketika dalam suasana santai, Presiden Gus Dur berbincang ringan dengan ajudannya yang lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL). 

Karena dikenal sebagai sosok egaliter, Gus Dur tak sungkan berbincang dengan siapa pun. Alasan itulah yang menciptakan orang-orang dekatnya juga tak segan meski Gus Dur yakni seorang Presiden.

“Gus, salah satu negara di Amerika Latin, yaitu Paraguay nggak punya laut, kok punya Angkatan Laut?” tanya Ajudan.

“Sama ibarat saya, punya Ajudan, tetapi saya bukan ibarat Presiden. Lah, kau manggil saya Gus,” ujar Gus Dur sambil terkekeh dalam hati.

“Siap Pak Presiden!” sontak Ajudan pribadi sadar dan memberi hormat.

“Ndak apa-apa, saya cuma ngetes seberapa besar selera humor seorang tentara,” lontar Gus Dur dengan tawanya yang khas, sedangkan Ajudan hanya dapat menahan tawa alasannya yakni sudah terlanjur hormat.


Sumber: Situs PBNU
Di kalangan pesantren, banyak ditemukan santri ‘berebut’ kuliner atau minuman sisa dari kiainya. Tidak lain, alasan mereka melaksanakan hal itu ialah untuk mencari berkah (ngalap barokah) dari kiainya. Maklum saja, di kalangan pesantren ada sebuah dogma besar lengan berkuasa bahwa apa yang menempel pada kiai sanggup membawa keberkahan. 

Meski demikian, ada saja pihak-pihak yang menilai jika hal itu terlalu berlebihan. Tidak patut. Dan dianggap terlalu mengkultuskan kiai. Benarkan demikian? 

Ternyata pada zaman Rasulullah juga ada seorang sahabat melaksanakan hal yang sama. Ia berdalih, dengan memakan kuliner sisa Rasulullah maka akan mendapat berkah atau barokah. Sahabat tersebut ialah Ummu Sulaim.

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim dari Anas, merujuk buku Hubbur Rasul (Taufik Anwar, 2012), disebutkan bahwa Rasulullah masih saudara dari Ummu Sulaim. Beliau ialah bibi sesusuan Ummu Sulaim. Dikisahkan, bahwa Rasulullah tiba ke rumah Ummu Sulaim beberapa kali. Beliau kadang mendapati Ummu Sulaim di rumahnya dan kadang tidak. Bahkan, Rasulullah juga pernah terlelap di rumah Ummu Sulaim. 



Suatu ketika Ummu Sulaim gres tiba dari bepergian ketika Rasulullah sudah tertidur. Pada ketika itu, Ummu Sulaim menemukan sepotong tulang yang masih ada dagingya sedikit-sedikit. Dia tahu bahwa itu ialah sisa kuliner dari Rasulullah. Langsung saja Ummu Sulaim memisahkan sisa-sisa daging yang ada dalam tulang tersebut. Lalu menyimpannya di daerah kesayangannya.

Ketika Ummu Sulaim melaksanakan hal itu, Rasulullah tiba-tiba saja terbangun. Beliau lantas bertanya kepada Ummu Sulaim wacana apa yang sedang dilakukannya itu.

“Ya Rasulullah, saya mengharap berkahnya untuk anak-anakku,” jawab Ummu Sulaim. Ternyata Ummu Sulaim akan memperlihatkan sisa-sisa kuliner Rasulullah itu kepada anak-anaknya dengan keinginan akan mendapat berkahnya.

Mendengar tanggapan Ummu Sulaim menyerupai itu, Rasulullah tidak melarangnya. Bahkan Rasulullah menyampaikan jika Ummu Sulaim akan mendapat keberkahan dari sisa-sisa makanannya itu. 

“Engkau akan mendapat keberkahannya,” kata Rasulullah

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Doa merupakan media komunikasi antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Melalui doa seluruh keluh kesah dan keinginan insan diutarakan. Doa sekaligus mengambarkan ketundukkan dan kepatuhan seorang hamba terhadap Sang Maha Kuasa. Allah swt. berfirman, “Berdoalah kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan,” (QS. Ghafir: 60).

Pada hakikatnya berdoa dapat dilakukan kapanpun dan di manapun. Akan tetapi, alangkah baiknya doa dilakukan pada waktu-waktu yang disunnahkan untuk berdoa.

Salah satunya yaitu berdoa sehabis mengerjakan shalat lima waktu dan shalat sunnah sebab doa termasuk potongan dari ibadah, maka ada beberapa hal yang disunnahkan pada dikala berdoa.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Ghunyatul Thalibin menjelaskan:

“Dianjurkan pada dikala berdoa membentangkan kedua tangan, mengawalinya dengan kebanggaan kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw., kemudian sehabis itu mengutarakan usul dan permohonan. Jangan menghadap langit pada dikala berdoa. Ketika simpulan berdoa usaplah kedua tangan ke wajah. Dalam sebuah riwayat disebutkan Rasulullah bersabda, ‘Mintalah kepada Allah dengan batin telapak tangan’.”

Dari klarifikasi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada dikala berdoa:

Pertama, membentangkan kedua telepak tangan pada dikala berdoa, menyerupai orang yang sedang memohon dan meminta.

Kedua, awali doa dengan kebanggaan terhadap Allah swt. dan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Pujian itu sebagai ungkapan bahwa insan bahwasanya lemah dan tidak mempunyai daya dan kuasa di hadapan Allah swt.



Ketiga, sehabis memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad gres memberikan usul dan permohonan kepada Allah swt., sembari menunduk dan jangan menghadap ke langit.

Keempat, simpulan berdoa usaplah wajah dengan dua telapak tangan.

Pada dikala membentangkan kedua telapak tangan, hendaklah batin telapak tangan menghadap ke atas, menyerupai halnya orang meminta. Dalam hadits disebutkan, “Mintalah dengan batin telapak tangan” (HR. Abu Dawud), maksudnya yaitu berdoa dengan batin telapak tangan ke atas sebagai simbol yang berharap dan memohon. Tapi jika menolak simbolnya yaitu punggung telapak tangan yang menghadap ke atas.

Al-Munawi dalam karyanya, Faidhul Qadir, mengatakan, jika doa yang berisi keinginan dan permohonan, batin telapak tangan menghadap ke atas. Tapi jika isi doa mengandung penolakan terhadap tragedi dan sesuatu yang jelek lainnya, dianjurkan membalik telapak tangan, punggung tangan menghadap ke atas.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU