Banyak masyarakat yang bertanya-tanya perihal bagaimana bersama-sama para keturunan Rasulullah saw. yang ada kini ini. Apakah mereka terjaga dari segala dosa sehingga bebas melakukan apa saja? Ataukah mereka punya kewajiban yang sama dengan umat Islam lain dalam hal menjaga keilmuan dan sikapnya untuk berusaha patuh dan mengikuti jejak sikap kakeknya, Rasulullah Muhammad saw.?
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat, mereka yang merupakan keturuan Sayyidah Fathimah dari jalur Hasan maupun Husain yaitu keturunan Rasulullah saw. melalui jalur nasab. Adapula orang lain yang sanggup menyambung kepada Baginda Nabi bukan melalui jalur nasab, tapi lantaran jalur sebab. Mereka yaitu para ulama yang benar-benar ulama, yaitu mereka yang selain alim juga mengamalkan ilmunya. Dalam sebuah hadits yang panjang, diriwayatkan oleh Katsir bin Qais dari Rasulullah saw. disebutkan:
“Sesungguhnya ulama yaitu pewaris Nabi.” (Sunan Abi Dawud, juz 1, halaman 81)
Nabi tidak meninggalkan harta benda, bukan dinar, bukan pula dirham. Yang ditinggalkan yaitu ilmu. Oleh lantaran itu yang menjadi pewaris gudang ilmu Rasulullah yaitu orang-orang yang berilmu. Baik itu dzurriyyah (keluarga) secara nasab maupun tidak. Apabila ternyata ada dzurriyah Rasul secara nasab namun ia sekaligus menjadi ulama, lengkaplah dia lantaran keilmuan dan memiliki keturunan darah daging Rasululllah saw. yang mulia.
Bagaimana seandainya ada keturunan Nabi secara nasab namun tidak mengikuti ajaran-ajaran kakeknya?
Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya Tâjul Arûs, mengutip sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim yang mengadu kepada Allah dalam ayat:
“Barangsiapa yang mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku.” (Q.S Ibrahim: 36)
Dengan kata lain, siapa pun orangnya, tanpa pandang bulu, apabila mengikuti jejak Nabi Ibrahim, baik keluarga ataupun tidak, akan menjadi golongan Nabi Ibrahim. Sebaliknya, sebagaimana ayah atau dalam sebagian riwayat menyatakan paman Nabi Ibrahim, walaupun mereka yaitu keluarga Nabi Ibrahim sendiri, lantaran tidak mengikuti jejak Nabi Ibrahim, balasannya mereka celaka.
Pada ayat yang lain mengisahkan bagaimana kisah Nabi Nuh. Pada dikala ia dan kaumnya dilanda tragedi banjir bandang. Allah sudah menjanjikan orang yang akan selamat yaitu siapa saja yang mau tunduk dan patuh atas seruan Nabi Nuh. Namun apa daya, anak Nabi Nuh sendiri yang berjulukan Kan’an tidak mau mengikuti seruan ayahnya. Dengan begitu, ia balasannya terancam tenggelam. Nabi Nuh kemudian mengadu kepada Allah dengan aduan yang sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:
“Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku yaitu termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu niscaya benar. Engkau yaitu hakim yang paling adil’.” (QS. Hud: 35)
Walaupun itu anak kandungnya Nabi Nuh sendiri, lantaran tidak menurut, Allah pun kemudian berfirman menjawab aduan Nabi Nuh tersebut:
“Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh!. Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, lantaran perbuatannya sungguh tidak baik. Janganlah kau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku menasihatimu supaya kau tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Hud: 46)
Oleh lantaran itu, mengikuti sikap-sikap baik para utusan Allah menjadi penentu. Bisa jadi, ada keluarga Nabi tapi lantaran tidak mengikuti jejak Nabinya, ia sanggup tidak diakui pecahan Nabi itu. Begitu pula sebaliknya, bukan keluarga Nabi namun patuh kepada Nabi, ia sanggup dianggap menjadi keluarganya Nabi Muhammad saw. Semua tergantung pada kepatuhan.
Sebuah kisah perang parit (khandaq) menguatkan klarifikasi ini. Pembuatan parit sebagai taktik perang berawal dari wangsit sahabat Salman Al-Farisi. Salman yaitu sahabat yang patuh, orangnya kuat, idenya cemerlang, balasannya sahabat Muhajirin dan Anshar masing-masing menganggap Salman pecahan dari mereka semua. Begitu pula Rasulullah. Beliau menyahut akreditasi para sahabat dengan mengatakan:
“Salman yaitu pecahan dari kita, sebagai ahlul bait.” (HR. At-Thabrani. Dikutip dari kitab Al-Mu’jam Al-Kabir Lit Thabrani).
Sebagaimana kita ketahui, Salman al-Farisi bukanlah darah daging Rasulullah. Ia juga bukan keturunan suku Quraisy. Ia orang Persia. Walaupun demikian, ia diakui Nabi sebagai ahlul baitnya (keluarga Nabi). Karena apa? Sebab ia beriman lagi patuh. Kuncinya yaitu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Rasulullah saw.
Syaikh Ibnu Athaillah mengatakan:
“Yang dinamakan patuh yaitu seorang pengikut seolah menjadi pecahan dari orang yang diikuti meskipun orang yang mengikuti yaitu orang lain (bukan keluarga) sebagaimana halnya Salman al-Farisi radliyallahu anhu, lantaran ada hadits Nabi Muhammad saw., ‘Salman pecahan dari ahlul bait kami’. Padahal sebagaimana kita ketahui, Salman itu berkewarganegaraan Persia, lantaran ia mengikuti jejak sikap Rasul, sanggup menjadikannya bersambung kepada Rasulullah saw. Begitu pula sebaliknya, walaupun keluarga Rasul, jikalau tidak patuh pedoman Nabi, ia sanggup terputus mata rantai kekeluargaan dengan Rasulullah saw.” (Ahmad Ibnu Athaillah As-Sakandari, Tajul Arus, halaman 5).
Dalam hadits lain sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang terekam dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud dan beberapa kitab hadits yang lain menceritakan:
“Kita pernah duduk bersama Rasulullah saw. Beliau mengupas perihal banyak sekali fitnah (ujian besar di simpulan zaman). Beliau menjelaskan panjang lebar perihal fitnah-fitnah itu, hingga ia menyinggung perihal fitnah ahlas.
Ada seseorang yang bertanya: “Ya Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah ahlas?’
Rasul menjawab: Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian fitnah sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam sikap maksiat), yang asapnya dari bawah kedua kaki seseorang dari mahir bait-ku; ia mengaku pecahan dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang saya kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa.
Kemudian insan bersepakat pada seseorang menyerupai bertemunya pinggul di tulang rusuk. Setelah itu, fitnah duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.
Jika dikatakan: ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut. Di dalamnya ada seorang laki-laki yang pada pagi harinya beriman, tetapi pada sore harinya menjadi kafir, sehingga insan terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan.
Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.” (Musnad Ahmad: 6168)
Menafsiri hadits di atas, Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, dalam karyanya ‘Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih’ menjelaskan:
“Yang dimaksud ‘ia mengaku pecahan dariku’ yaitu lantaran secara lahir, kenyataannya memang ia pecahan dariku (Nabi Muhammad) dalam sisi nasab. Adapun hasil nyatanya; fitnah tersebut ada lantaran disebabkan olehnya, dan justru ia malah menjadi pembangkit fitnah tersebut.
Maka, Rasulullah bersabda ‘Laisa minni’, maksudnya yaitu hakikatnya orang tersebut bukanlah mahir baitku (keluargaku). Sebab, apabila ia benar-benar mahir bait-ku (Rasulullah saw.), tentu ia tidak berkontribusi pada fitnah tersebut.
Hal itu menyerupai dengan firman Allah swt. ‘Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, lantaran perbuatannya sungguh tidak baik.’.” (Syekh Ali bin Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarah Misykatul Mashabih, juz 8, halaman 3399)
Dengan demikian sanggup kita ambil kesimpulan:
Pertama, nasab Nabi merupakan nasab mulia apabila dibarengi dengan mengikuti aturan-aturan Nabi.
Kedua, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk sanggup dianggap menjadi ahlu bait Nabi dengan cara mengikuti jejak sikap beliau.
Ketiga, dzurriyah (keturunan) Nabi secara garis nasab sanggup tidak dianggap sebagai dzurriyyah apabila tidak mengikuti jejak sikap Rasulullah saw.
Keempat, dzurriyah yang sekaligus pengikut pedoman Rasulullah saw. tentu kedudukannya sangat tinggi dan terhormat.
Semoga kita senantiasa diberi santunan oleh Allah swt. biar sanggup selalu mengikuti jejak sikap Rasulullah saw. dan kita kelak meninggal dalam keadaan husnul khatimah, amin.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
0 komentar:
Post a Comment