Showing posts with label artikel. Show all posts
Showing posts with label artikel. Show all posts
Sebagaimana kita dengar, sering termaktub dalam buku-buku sekolah, bahwa Islam masuk di Indonesia melalui jalur perdagangan Gujarat. Bukan cuma itu, tapi taukah Anda, kepulauan Nusantara sudah dikenal semenjak Nabi saw. masih hidup dan para sahabat sudah berdakwah hingga ke Nusantara?

Sabda nabi yang menyampaikan “Ballighu anni walau ayatan,” Sampaikanlah apa yang dari saya walau hanya satu ayat”, membangkitkan semangat para sahabat membuatkan Islam ke banyak sekali daerah. Dalam catatan berikut, terdapat beberapa sahabat Nabi dalam perjalanannya pernah menginjakkan kaki di bumi nusantara.

1.) Pada tahun 625 M, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah tiba dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia. (Sumber keterangan ini sanggup dicek pada: H. Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya hingga sekarang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

2.) Sekitar tahun 626 M, Sahabat Ja'far bin Abi Thalib berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia. (Sumber: Habib Bahruddin CV), 1929, hal. 33).

Selain itu, terdapat sebuah artefak ditemukan bahwa ketika itu di indonesia tepatnya dipulau Jawa yaitu Kalingga, Jepara. Pada tahun 640-650 M ada sebuah kerajaan yang ratunya adil berjulukan Ratu Sima dan anaknya berjulukan Ratu Jayisima.

Ketika itu ada seorang dari tanah Arab yang diutus pada masa Utsman bin Affan dari Bani Umayyah. Bani Umayyah yaitu kekhalifahan Islam pertama (Muawiyah bin Abu Sufyan) sesudah masa Khulafaur Rasyidin.

Lalu singgah di Kalingga-Jepara, kemudian Ratu Sima dan Putrinya masuk Islam dan memerintah dari tahun 646-650 M, dan Islam belum berkembang ketika itu, kemudian ditandai adanya surat-menyurat atau korespondesi antara Ratu Sima pada masa Bani Umayyah untuk didatangkan guru-guru untuk berdakwah. Surat-surat mereka kini tersimpan di Museum Granada, Spanyol.

3.) Sahabat Ubay bin Ka'ab berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah. Sekitar tahun 626 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 35).

4.) Sahabat Abdullah bin Mas'ud berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah sekitar tahun 626 M. (Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay archipelago).

5.) Sahabat Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal, dan putra-putranya Mahmud dan Isma'il, berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sekitar tahun 625 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 38).

6.) Sahabat Akasyah bin Muhsin Al-Usdi, berdakwah di Palembang, Sumatera Selatan dan sebelum Rasulullah wafat, ia kembali ke Madinah sekitar tahun 623 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929;  T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968).

Kemudian pada tahun 718 M, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan putranya Abdul Malik telah menginjakan kaki di Palembang - Sumatra Selatan. Pada waktu itu Palembang dipimpin oleh seorang Raja Sriwijaya yang berjulukan Raja Srindra Varma.

Dakwah Khalifah Umar bin Abdul Aziz menciptakan Raja tertarik kemudian masuk Islam. Terbukti di makamnya tertuliskan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasuulullah. Lalu ditandai juga ada surat-menyurat (korespondensi) antara Raja Srindra Varma dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang juga untuk meminta didatangkannya para guru untuk berdakwah. Yang kini surat-suratnya di simpan di Museum Oxford, inggris.

7.) Sahabat Salman Al-Farisi, berdakwah ke Perlak, Aceh Timur dan kembali ke Madinah sekitar tahun 626 M. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hal. 39).

Ilustrasi saudagar-saudagar Arab


Sejarawan Agus Sunyoto dalam bukunya "Atlas Walisongo" mengatakan, dari berita-berita yang bersumber dari Dinasti Tang, yang menyebutkan bahwa pada tahun 674 M. saudagar-saudagar Tazhi (Arab) sudah berdatangan ke Kalingga, merupakan satu petunjuk bahwa pada awal zaman Islam, saudagar-saudagar muslim dari Arab sudah mulai masuk wilayah Nusantara.

Namun, hingga berabad-abad kemudian sejarah mencatat bahwa agama Islam di Nusantara lebih banyak dianut oleh penduduk abnormal asal Cina, Arab dan Persia. Berdasarkan catatan Marcopolo yang kembali dari Cina lewat maritim teluk Persia menyebutkan bahwa pada kurun ke-13 hanya penduduk abnormal itu yang memeluk Islam di Nusantara. Catatan dari juru tulis Cheng Ho juga menyebutkan hal serupa. Tahun 1433 M. penduduk pribumi Nusantara masih belum memeluk Islam.

Agus Sunyoto mencatat bahwa pada final kurun ke-15 hingga paruh kurun ke-16 ada sekumpulan tokoh penyebar Islam, Wali Songo. Inilah tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Disebut tonggak alasannya kedatangan saudagar muslim semenjak tahun 674 M tidak serta merta diikuti dengan penyebaran agama Islam kepada penduduk pribumi. Tetapi sesudah Walisongo, Islam berkembang pesat di Nusantara cukup membutuhkan waktu sekitar 50 tahun.

Hal ini alasannya Wali Songo sangat paham dengan kultur sosial yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa mengakibatkan dakwah Islam yang mereka sampaikan diterima secara baik. Mereka masuk sanggup lewat wayang, kidung-kidung lokal yang dimodifikasi dengan subtansi Islam. Banyak hal yang pertanda bahwa dakwah yang mereka lakukan sangat fleksibel sehingga tanpa harus kehilangan substansinya, orang merasa tertarik dengan Islam.

Agus Sunyoto menyebutkan ada sepuluh tokoh Wali Songo. Mereka yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Syekh Siti Jenar, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Raden Fatah.

Wallahu A’lam


Sumber: gusdurfile.com
Suatu hari, dikala sedang bersanding dengan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, Nabi Muhammad saw. berujar:

“Tidakkah kau tahu wahai Aisyah, dulu kaummu itu (kaum kafir Quraisy) dikala membangun Ka’bah, mereka mengurangi luas bangunannya dan menggeser pondasinya dari yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim?” 

Demikian Nabi Muhammad bertanya. Tentu saja Aisyah heran, mestinya bukan masalah susah bagi Nabi untuk melaksanakan sesuatu atas bangunan Ka’bah. Beliau Nabi, pemimpin masyarakat, serta disegani orang-orang Quraisy di Makkah, dan kala itu Islam sudah menyebar pesat, mengapa perlu pertimbangan soal renovasi Ka’bah itu?

“Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menggesernya saja ke posisi semula?” Demikianlah Aisyah jadinya bertanya balik.

Nabi menjawab, “Ya, seandainya tidak memerhatikan keadaan masyarakatmu yang masih dibayangi ajaran-ajarannya sebelum masuk Islam, juga adanya kaum kafir Quraisy yang sudah usang di sana, tentu telah kugeser pondasi itu.”

Kisah di atas diriwayatkan dalam kitab hadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam pembahasan perihal renovasi Ka’bah. Islam tiba membawa banyak tatanan gres untuk masyarakat. Namun nilai yang sudah ada tentu bukan masalah mudah, termasuk juga merombak infrastruktur yang telah menempel dengan identitas suatu kaum.

Melalui dongeng percakapan Nabi dan Aisyah di atas, bisa saja Rasulullah saw. memakai efek dan kekuasaan dia untuk memugar Ka’bah sebagaimana asal mulanya dikala dibangun Nabi Ibrahim. Meskipun memahami pentingnya pengubahan itu, dia tidak serta merta melakukannya. Konon, Ka’bah pada masa Nabi itu dikurangi luasnya oleh masyarakat Quraisy sebelum datangnya Islam, alasannya kurangnya perhatian soal itu dan masih kuatnya budaya pagan.

Bagaimanapun, Nabi Muhammad ialah sosok lemah lembut. Imam an-Nawawi menandakan mengapa Rasulullah menentukan untuk menahan ego dia atas kebenaran sejarah, dengan mendahulukan kepentingan masyarakat secara luas.

“Dalam hadits (kisah) ini ada dalil kaidah hukum, di antaranya ialah dikala terdapat dua kebaikan yang bertentangan, atau ada kontradiksi antara maslahat dan dampak buruk, namun susah untuk melaksanakan kebaikan dan menghindari keburukan secara bersamaan, maka hal yang lebih penting mesti didahulukan.” (Imam an Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al Hajjaj, juz 9, hal. 90)

Rasulullah tahu bahwa mengembalikan pondasi bangunan Ka’bah sebagaimana didirikan Nabi Ibrahim ialah suatu kebaikan. Namun, ia akan mendatangkan masalah yang lebih besar, yaitu masyarakat Makkah yang gres saja masuk Islam akan merasa bahwa mengusik bangunan Kabah, yang sudah ada semenjak dulu, ialah masalah besar. Nabi memahami masalah ini.

Selain itu, dikhawatirkan akhir perombakan Ka’bah tadi, kelak masyarakat kafir Quraisy Makkah yang merasa terusik akan mengganggu kewajiban syariat kaum muslimin, ibarat shalat, zakat dan haji. Bangunan Ka’bah yang sudah mereka rawat semenjak usang di Makkah tentu mempunyai makna tersendiri bagi mereka, dan itu tidak bisa ditawar.



Imam al-Qasthalani menyebutkan dalam karyanya “Irsyadus Sari li Syarh Shahih al Bukhari”, Juz 3, hal. 146, bahwa dongeng di atas mengatakan semoga seorang muslim bisa menimbang dampak jelek dari dua atau lebih permasalahan yang menimpanya, lantas sanggup memprioritaskan pencegahan akan keburukan yang lebih besar. 

Dalam masalah dongeng membangun Ka’bah di atas, Rasul menilai membangun Ka’bah bisa ditunda lebih dulu. Beliau lebih mengutamakan keimanan dan keamanan kalangan umat muslim baru, serta merawat kohesi sosial dengan kaum kafir Quraisy yang sudah memugar dan merawat Ka’bah sebelumnya. Dua alasan tersebut, demi kaum muallaf dan non-muslim, menciptakan Nabi menentukan menahan diri dari perombakan Ka’bah, lantas mendahulukan kerukunan dan menghargai simbol masyarakat yang sudah ada sebelumnya.

Barangkali dongeng ini relevan dengan kondisi masyarakat kita. Bukan semata alasannya mempunyai kuasa, atau merasa mempunyai argumen yang lebih benar, lantas mengabaikan kerukunan dan kedamaian yang ada. Bahkan termasuk dengan kalangan kaum non-Muslim. Kerukunan, tenggang rasa, dan kemanusiaan lebih penting dari mutlak-mutlakan membela kebenaran secara arogan. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Sebagai Muslim kita harus menghormati sekaligus mengasihi keluarga dan keturunan Rasulullah saw. yang disebut Ahlul Bait. Rasulullah memang mengimbau semoga umatnya menghormati dan mengasihi keluarga dan keturunannya. Hal ini lantaran Ahlul Bait memang mempunyai kemuliaan tersendiri sebagai kerabat Rasulullah. Namun apabila di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan leluhurnya, hendaklah ada yang menasihatinya. 

Imbauan ibarat itu sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang ulama sekaligus habib yang merupakan dzurriyah Rasulullah saw. asal Tarim, Hadramau,t Yaman, yakni Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720 M) dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 89 ) sebagai berikut: 

“Ahlul Bait mempunyai kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah telah memperlihatkan perhatiannya yang besar kepada mereka. Beliau berulang-ulang berwasiat dan menghimbau semoga umatnya mengasihi dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah subhanahu wataála telah memerintahkan di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya: “Katakanlah wahai Muhammad, tiada saya minta suatu akhir melainkan kecintaan kalian pada kerabatku.” (QS Asy-Syura/42:23). 

Dari kutipan di atas sanggup ditegaskan bahwa kaum Muslimin memang harus menghormati dan mengasihi Ahlul Bait bukan saja lantaran korelasi mereka dengan Rasulullah saw., tetapi juga lantaran Allah telah memerintahkan kepada dia untuk berseru kepada umatnya semoga mengasihi kerabat beliau. Dengan kata lain perintah untuk mengasihi Ahlul Bait merupakan perintah dari Allah subhanahu wataála. Rasulullah sebagai pemimpin kaum Muslimin tidak meminta akhir apa pun dari umatnya kecuali kecintaan mereka kepada keluarga dan keturunan beliau. 

Namun Sayyid Abdullah Al-Haddad mengingatkan semoga dalam memperlihatkan penghormatan dan kecintaan kepada Ahlul Bait, kaum Muslimin bersikap masuk akal dan tidak berlebih-lebihan. Hal ini sebagaimana ditegaskannya dalam kutipan berikut: 

“Seluruh kaum Muslimin hendaknya memastikan kecintaan dan kasih sayang mereka kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka secara masuk akal dan tidak berlebih-lebihan.”

Terhadap Ahlul Bait yang menyimpang dari apa yang dicontohkan Rasulullah saw., Sayyid Abdullah Al-Haddad menghimbau semoga mereka tetap dihormati semata-mata lantaran mereka ialah kerabat Nabi Muhammmad saw. dengan tidak meninggalkan perlunya memperlihatkan nasihat kepada mereka sebagaimana kutipan berikut: 

“Adapun mereka yang berasal dari keluarga dan keturunan Rasulullah ini yang tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, kemudian mencampur adukkan antara yang baik dan yang jelek disebabkan kejahilannya, seyogyanyalah mereka tetap dihormati semata-mata lantaran korelasi mereka dengan Nabi saw. Namun siapa saja yang mempunyai keahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati dan mendorong mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang saleh-saleh, yang pintar dan bederma kebajikan, berakhlak terpuji dan berperilaku luhur.” 



Dari kutipan di atas, sanggup diketahui bahwa dalam masyarakat tidak tertutup kemungkinan ada dari Ahlul Bait yang berperilaku tidak sebagaimana dicontohkan para leluhurnya khususnya Rasulullah saw. Kepada Ahlul Bait yang ibarat itu Sayyid Abdullah Al-Haddad mengimbau semoga siapa pun yang mempunyai kepasitas keilmuan dan kewenangan untuk tidak segan-segan memperlihatkan nasihat dengan tetap bersikap hormat dan cinta kepada mereka secara wajar. 

Nasihat-nasihat yang hendaknya disampaikan kepada mereka ialah perlunya kembali menempuh jalan hidup sebagaimana para pendahulu mereka yang pintar dan bederma shaleh serta berakhlak mulia sebagaimana dicontohkan Baginda Rasulullah saw. Himbauan dari Sayyid Abdullah Al-Haddad ini sekaligus merupakan balasan atas adanya sikap sebagian kaum Muslimin yang menganggap bahwa bila ada dari Ahlul Bait yang melaksanakan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama, mereka tidak perlu diingatkan lantaran menganggap Rasulullah sudah niscaya akan memberinya syafaat di darul abadi kelak. 

Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak oke atas anggapan ibarat itu sebagaimana kutipan berikut: 

“Ada yang mengatakan: ’Biarlah, mereka ialah dari Ahlul Bait, Rasulullah saw. niscaya akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat (bahaya) atas mereka’. Sungguh, ini ialah ucapan yang sangat buruk, yang menjadikan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana sanggup seseorang berkata ibarat itu, sedangkan dalam Al-Qur’an, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula eksekusi atas perbuatan buruknya.” 

Sangat terang bahwa Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak oke terhadap anggapan bahwa orang-orang tertentu ibarat Ahlul Bait mempunyai kekebalan aturan atas hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah subhanahu wataála disebakan kemuliaan nasabnya yang bersambung kepada Rasulullah. Ulama yang diyakini sebagai pembaharu periode 11 hijriyah ini menyebut orang yang mempunyai anggapan ibarat itu telah melaksanakan perbuatan dusta wacana Allah subhanahu wataála serta menyalahi ijma’ seluruh kaum Muslilimin. 

Sebelumnya, Sayyid Abdullah Al-Haddad mengutip sebuah hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits itu berisi peringatan kepada putri dia berjulukan Sayyidah Fathimah semoga tidak mengandalkan pembelaan dari ayahnya di hadapan Allah subhanu wa taála sebagai berikut: 

“Hai Fathimah binti Muhammad, sungguh saya takkan cukup sebagai pembelamu di hadapan Allah.”


Kaprikornus sekali lagi, ada kewajiban bagi kaum Muslimin untuk menghormati dan mengasihi Ahlul Bait lantaran mereka mempunyai korelasi dengan Rasulullah saw. Perintah ini mempunyai dasar di dalam Al-Qur’an, surah Asy-Syura ayat 23. Disamping itu ada kewajiban lain bagi orang-orang tertentu yang mempunyai kapasitas untuk menasihati bila ada dari mereka berbuat kemaksiatan dan berperilaku tercela. Perbuatan dosa yang mereka lakukan akan dilipat gandakan hukumannya. Namun cara menasihati mereka harus tetap baik dan hormat lantaran bagaimanapun mereka ialah dzurriyyah Rasulullah saw.

Wallahu A’lam


Situs PBNU
Pertanyaan:

Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, umat Islam di Indonesia terdiri atas pelbagai etnis. Hanya saja, umat Islam di Indonesia utamanya warga NU sangat menyayangi dan menaruh hormat serta takzim lebih tinggi untuk para habib. Hal ini tampak bagaimana ramainya majelis zikir para habib. Mohon penjelasannya. Terima kasih. 
Wassalamu alaikum wr. wb.

Jawaban:

Penanya yang budiman, agar dirahmati Allah swt. Umat Islam di Indonesia sangat menaruh takzim dan hormat kepada habib atau habaib. Hal ini juga dilakukan oleh nahdliyin atau warga NU. Mereka sangat menyayangi keluarga besar Rasulullah saw. Mereka tidak jarang menimbulkan para habib selain para kiai sebagai panutan.

Alasan mereka cukup sederhana. Mereka dalam shalawat dan salam kepada Nabi menyertakan para sobat dan ahlul baitnya. Mereka memahami Ahlul Bait Rasulullah saw. yang dimaksud yaitu para habib.

Syaikh Ibrahim Al-Baijuri menyampaikan bahwa ulama berbeda pendapat wacana siapa yang dimaksud keluarga Nabi Muhammad saw. Mayoritas ulama beropini bahwa keluarga Nabi Muhammad saw. yaitu Sayyidina Ali ra., Sayyidatina Fathimah ra., Sayyidina Hasan bin Ali ra., dan Sayyidina Husein bin Ali ra.

Menurut jumhur ulama, Ahlul Bait Rasulullah saw. yaitu Sayyidina Ali, Sayyidatina Fathimah, Sayyidina Hasan, dan Sayyidina Husein. Tetapi ada ulama beropini bahwa Ahlul Bait Rasulullah saw. yaitu siapa saja yang pernah bertemu pada satu rahim dengan Nabi Muhammad saw. Ulama lain beropini berbeda dari dua pendapat sebelumnya, (Lihat kitab Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awa karya Imam Al-Baijuri, halaman 70).



Alasan kaum nahdliyin cukup beralasan. Pandangan mereka sejalan dengan keterangan Syek Ibrahim Al-Baijuri wacana surah As-Syura ayat 23 di mana Allah memerintahkan umat Islam untuk menyayangi kerabat Rasulullah saw.

“Dari Ibnu Abbas bahwa ketika  turun firman Allah swt. surah As-Syura ayat 23, ‘Katakanlah hai Muhammad, Aku tidak meminta upah kepada kalian kecuali rasa cinta pada kerabat’. Para sobat bertanya, ‘Siapakah mereka yang Allah perintahkan kami untuk mencintainya, ya Rasul?’ Rasulullah menjawab, ‘Ali, Fathimah, kedua anak mereka, dan keturunannya. Mereka yaitu keluarga besar.’ Ada ulama yang mengatakan, mereka yaitu cucu keturunan keduanya.’ Demikian klarifikasi sebagai dikutip dari Syarhul Fasi alad Dala’il, (Lihat Imam Al-Baijuri, Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam, halaman 70).

Sikap kaum nahdliyin terhadap para habib sampai sekarang tidak bergeser. Mereka membanjiri majelis-majelis yang dibuka oleh para habib. Mereka bershalawat bersama para habib. Hal ini kiranya yang menjadi alasan masyarakat Islam di Indonesia secara umum menyayangi keturunan Rasulullah saw.

Demikian balasan singkat kami. Semoga sanggup dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam mendapatkan kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU