Showing posts with label kisah sahabat Nabi. Show all posts
Showing posts with label kisah sahabat Nabi. Show all posts
Sepanjang hayat, ketika Rasulullah memimpin ibadah, tidak pernah sekalipun menyusahkan para sahabat yang menjadi makmumnya. Hal ini alasannya ialah kegiatan yang dilakukan Rasulullah selalu sedang-sedang saja, tidak terlalu cepat, juga tidak terlampau lama. Rasulullah tidak berlebihan. 

Sahabat Abdullah bin Jabir mengakui lewat ceritanya yang terekam pada sebuah hadits sebagai berikut: “Saya shalat bersama Nabi saw.  berkali-kali. Shalat dia sedang, khutbahnya juga sedang (tidak terlalu cepat dan tidak terlampau lama).” (HR Muslim) 

Satu ketika Salman al-Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda’. Kita tahu, keduanya sudah diikatkan persaudaraan oleh Rasulullah saw. Rasulullah banyak mengikatkan persaudaraan sahabat, antara kaum Muhajirin sebagai pendatang dengan kaum Anshar sebagai pribumi. Sahabat Salman yang populer dengan pandangan gres briliannya menciptakan parit pada perang Khandaq ini merupakan orisinil warga Persia. Oleh Baginda Nabi Muhammad saw., ia diikatkan persaudaraan dengan warga lokal (Anshar) berjulukan Abu Darda’.

Saat Salman masuk ke rumah Abu Darda’ pada suatu ketika ia melihat ibunda Abu Dar’da sedang menggunakan pakaian lusuh yang kurang layak pakai. Salman mencoba menelisik, apa gerangan yang mengakibatkan ibunda Abu Darda’ menggunakan pakaian yang sedemikian buruk.

“Bu, Anda ini kenapa?” tanya Salman pada sang Ibu. 

“Itu lho, saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh dunia lagi.” terperinci sang ibu

Setelah menyampaikan begitu, Abu Darda’ datang, ia mempersiapkan jamuan makan untuk tamu yang sekaligus saudaranya tersebut. Sembari mempersilahkan, Abu Darda’ mengatakan, “Ayo, silakan dimakan. Saya sedang puasa ini.”

Salman menjawab, “Tidak, saya tidak mau makan jika kau tidak juga makan.” 

Akhirnya mereka makan bersama-sama. 

Usai makan, Salman menginap di rumah Abu Darda’. Di dalam keheningan malam, di ketika seluruh anggota keluarga tidur, Abu Darda’ yang sedang tidur bersama Salman meninggalkan daerah tidurnya. Ia melaksanakan shalat malam. Namun tiba-tiba Salman menyergahnya. “Ayo, tidur lagi!” suruh Salman. 

Setelah Abu Darda’ tidur, ia bangkit lagi, dan disuruh tidur lagi oleh Salman untuk yang kedua kalinya. Hingga mereka berdua memasuki waktu fajar. Saat fajar benar-benar menyapa, Salman gres kemudian mengajak Abu Darda’ bangun. “Nah, jika sekarang, ayo bangun!” Mereka berdua melaksanakan shalat secara berjamaah. 

Usai shalat, Salman menasihati saudaranya tersebut, “Tuhanmu memiliki hak yang harus kau tunaikan. Tubuhmu juga memiliki hak yang harus kau berikan. Begitu pula keluargamu juga memiliki hak yang wajib kau penuhi. Berilah haknya masing-masing sesuai porsinya.”

Setelah menerima nasihat, Abu Darda’ sowan kepada Baginda Rasul saw. Ia menuturkan kisah yang gres saja terjadi. Lalu Rasul menjawab, “Benar apa yang dikatakan Salman.” (HR Bukhari)



Hampir senada dengan dongeng di atas, hadits riwayat dari Anas. Satu ketika Nabi Muhammad saw. masuk ke dalam masjid. Di sana, Rasul melihat ada tali yang membentang antara dua tiang masjid. 

“Tali apa ini?” tanya Rasul 

“Oh, itu tali milik ibu Zaenab, Ya Rasul. Saat letih, dia berpegangan pada seutas tali itu,” jawab sahabat. 

Rasul kemudian berpesan, “Lepaskan tali itu. Shalatlah kalian ketika bugar. Ketika capek, tidurlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits di atas menunjukkan pelajaran kepada kita, ibadah-ibadah sunnah itu sangat anggun nilai pahalanya. Namun kita perlu adil dalam membagi waktu. Jangan hingga kita beribadah, namun ada hak lain yang harus kita penuhi namun belum terbayarkan. Apalagi, makna ibadah sejatinya amat luas. Ia tak sebatas pada ritual-ritual, tapi juga meliputi banyak sekali acara lain menyerupai bekerja, memasak, merawat keluarga, dan lainnya yang dilandasi niat ibadah. 

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Di kalangan pesantren, banyak ditemukan santri ‘berebut’ kuliner atau minuman sisa dari kiainya. Tidak lain, alasan mereka melaksanakan hal itu ialah untuk mencari berkah (ngalap barokah) dari kiainya. Maklum saja, di kalangan pesantren ada sebuah dogma besar lengan berkuasa bahwa apa yang menempel pada kiai sanggup membawa keberkahan. 

Meski demikian, ada saja pihak-pihak yang menilai jika hal itu terlalu berlebihan. Tidak patut. Dan dianggap terlalu mengkultuskan kiai. Benarkan demikian? 

Ternyata pada zaman Rasulullah juga ada seorang sahabat melaksanakan hal yang sama. Ia berdalih, dengan memakan kuliner sisa Rasulullah maka akan mendapat berkah atau barokah. Sahabat tersebut ialah Ummu Sulaim.

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim dari Anas, merujuk buku Hubbur Rasul (Taufik Anwar, 2012), disebutkan bahwa Rasulullah masih saudara dari Ummu Sulaim. Beliau ialah bibi sesusuan Ummu Sulaim. Dikisahkan, bahwa Rasulullah tiba ke rumah Ummu Sulaim beberapa kali. Beliau kadang mendapati Ummu Sulaim di rumahnya dan kadang tidak. Bahkan, Rasulullah juga pernah terlelap di rumah Ummu Sulaim. 



Suatu ketika Ummu Sulaim gres tiba dari bepergian ketika Rasulullah sudah tertidur. Pada ketika itu, Ummu Sulaim menemukan sepotong tulang yang masih ada dagingya sedikit-sedikit. Dia tahu bahwa itu ialah sisa kuliner dari Rasulullah. Langsung saja Ummu Sulaim memisahkan sisa-sisa daging yang ada dalam tulang tersebut. Lalu menyimpannya di daerah kesayangannya.

Ketika Ummu Sulaim melaksanakan hal itu, Rasulullah tiba-tiba saja terbangun. Beliau lantas bertanya kepada Ummu Sulaim wacana apa yang sedang dilakukannya itu.

“Ya Rasulullah, saya mengharap berkahnya untuk anak-anakku,” jawab Ummu Sulaim. Ternyata Ummu Sulaim akan memperlihatkan sisa-sisa kuliner Rasulullah itu kepada anak-anaknya dengan keinginan akan mendapat berkahnya.

Mendengar tanggapan Ummu Sulaim menyerupai itu, Rasulullah tidak melarangnya. Bahkan Rasulullah menyampaikan jika Ummu Sulaim akan mendapat keberkahan dari sisa-sisa makanannya itu. 

“Engkau akan mendapat keberkahannya,” kata Rasulullah

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Adalah Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah seorang sobat Rasulullah yang populer suka melawak dan jahil. Ia yaitu sobat dari kalangan Anshar. Meski wataknya yang suka melucu, Nu’aiman juga seorang mujahid sejati Islam. Ia merupakan Ashabul Badr alasannya ikut terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah dan para sobat yang lainnya. 

Nu’aiman banyak menciptakan dagelan atau tingkah konyol –bahkan kejahilan- sampai menciptakan Rasulullah dan para sobat lainnya tida berpengaruh menahan tawa. Yang menjadi sasaran kejahilannya tidak hanya sahabat, tapi juga Rasulullah. 

Lantas bagaimana perilaku Rasulullah terhadap sahabatnya yang suka melawak –bahkan jahil- menyerupai Nu’aiman tersebut? Apakah Rasulullah pernah murka dengan perilaku usil Nu’aiman? Ataukah Rasulullah menganggapnya biasa saja? Lalu bagaimana jika ada sobat yang tersinggung dengan keusilan Nu’aiman, bagaimana Rasulullah ‘meredam’ hal itu?

Dari beberapa kisah perihal Nu’aiman di buku “Yang Jenaka dari M Quraish Shihab” (Quraish Shihab, 2014) dan buku “Dari Canda Nabi & Sufi Sampai Kelucuan Kita” (A. Mustofa Bisri, 2016),  kita dapat menarik beberapa kesimpulan perihal perilaku Rasulullah terhadap Nu’aiman.

Pertama, memakluminya. Pada umumnya Rasulullah dan para sobat maklum perihal aksara Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah juga biasa saja dikala menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam menciptakan lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar aliran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi. 

Misalnya dongeng Nu’aiman menghadiahi Rasulullah madu. Diceritakan bahwa suatu hari Nu’aiman ingin menghadiahi Rasulullah seguci madu. Namun alasannya ia tidak mempunyai uang, maka karenanya Nu’aiman menyuruh penjual madu untuk mengantarkan madunya kepada Rasulullah, sebagai hadiah kepada Rasulullah.

“Nanti kau minta juga uang harganya,” kata Nu’aiman kepada penjual madu. 

Saat bertemu Rasulullah, penjual madu tersebut menyampaikan sebagaimana yang diminta Nu’aiman. Rasulullah memperlihatkan sejumlah uang kepada penjual madu itu. Jadilah Rasulullah mendapat hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.

Setelah bencana itu, Rasulullah memanggil Nu’aiman. Beliau menanyakan mengapa Nu’aiman melaksanakan hal itu. 

“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah, tapi saya tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman sehingga menciptakan Rasulullah tersenyum. 

Kedua, mengganti kerugian akhir kejahilan Nu’aiman. Tidak hanya memaklumi Nu’aiman, bahkan Rasulullah mengganti kerugian akhir kejahilan yang dilakukan sahabatnya itu. Selain dongeng di atas, ada satu bencana yang menciptakan Rasulullah mengganti apa yang telah diperbuat Nu’aiman. Meski demikian, Rasulullah tidak marah. Bahkan dia tersenyum alasannya apa yang dilakukan Nu’aiman memang ‘menggelitik.’



Ceritanya, suatu dikala para sobat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah usang tidak makan daging unta. Mereka lantas mempunyai inspirasi untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah. Nu’aiman eksklusif saja menyambut inspirasi tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut karenanya jadi disembelih Nu’aiman. 

Tamu Rasulullah yang mengetahui untanya disembelih tersebut eksklusif mengadu kepada Rasulullah. Setelah ditanya, para sobat yang mempunyai inspirasi makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melaksanakan itu yaitu Nu’aiman. Salah seorang dari mereka kemudian memperlihatkan kepada Rasulullah dan tamunya daerah persembunyian Nu’aiman. 

Saat ditanya Rasulullah mengapa melaksanakan itu, tanggapan Nu’aiman malah menciptakan Rasulullah tersenyum.

“Tanyakan saja kepada orang yang memperlihatkan kepadamu daerah persembunyianku,” jawab Nu’aiman. 

Rasulullah kemudian memperlihatkan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih daripada cukup. 

Ketiga, melarang sobat lain mencela Nu’aiman. tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil menyerupai itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laris Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah sudah memperlihatkan rambu-rambu. Rasulullah melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman. 

“Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) alasannya dia mengasihi Allah dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Bilal bin Rabah yaitu seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah (Ethiopia). Majikannya, Umayyah bin Khalaf, yaitu salah satu orang elit musyrik Makkah yang sangat menentang Rasulullah dan dakwah Islam. Bilal mulai tertarik dengan Islam ketika sering mendengar Umayyah bin Khalaf dan teman-temannya ‘membicarakan’ Rasulullah dan Islam. 

Singkat cerita, kesudahannya Bilal menemui Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ummayah bin Khalaf yang mengetahui budaknya masuk Islam murka besar. Berbagai macam tindakan bergairah dan sadis dilakukan untuk memurtadkan Bilal. Mulai menjemur Bilal di padang pasir tanpa pakaian hingga menjatuhinya kerikil besar. Tapi bilal tetap keukeuh dengan keyakinan barunya, Islam.

Abu Bakar As-Shiddiq memerdekakan Bilal bin Rabah sehabis mengetahui keadaannya yang begitu malang. Semenjak itu, Bilal selalu berada di bersahabat Rasulullah. Ia ikut berhijrah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya. Tempat tinggal Bilal pun tidak jauh dengan rumah Rasulullah ketika di Madinah. Bilal menjadi ahlu shuffah dan tinggal di emperan Masjid Nabawi bersama para sahabat lainnya, sementara Rasulullah tinggal di sebuah bilik yang masih menyambung dengan Masjid Nabawi.    

Di dalam Islam, semua insan itu mempunyai derajat yang sama. Hanya ketakwaannya yang menciptakan mereka mulia di sisi Allah, bukan warna kulit, suku, atau rasnya. Hal itulah yang dialami Bilal. Meskipun ia berkulit hitam, berambut keriting, dan berlatar belakang budak, namun Bilal-lah yang dipilih Rasulullah untuk mengemban kiprah yang mulia, yaitu menjadi muadzin pertama. 

Tentu saja ada omongan miring terkait hal ini. Terutama ketika Bilal mengumandangkan adzan di atas Ka’bah ketika kejadian Fathu Makkah. Kata mereka, apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah.

Makam Bilal bin Rabah


Lantas apa yang menjadikan Bilal dipilih untuk menjadi muadzin pertama? Merujuk buku Ash-Shuffah, setidaknya ada empat alasan mengapa Bilal diangkat menjadi penyeru umat Islam untuk shalat untuk yang pertama kalinya. 

Pertama, Bilal mempunyai bunyi yang lantang dan merdu. Mungkin ini menjadi faktor pertama mengapa Rasulullah menawarkan kiprah kepada Bilal untuk menjadi muadzin pertama dalam Islam. Dikisahkan bahwa siapapun akan bergetar hatinya manakala mendengar Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan atau membaca Al-Qur’an.  

Kedua, Bilal sangat menghayati kalimat-kalimat adzan. Ketika Bilal masih menjadi budak Ummayah bin Khalaf, beliau disika dengan siksaan yang sangat keras biar keluar dari Islam. Mulai diseret dan dijemur di padang pasir dengan tanpa pakaian hingga dijatuhi kerikil besar sempurna di atas dadanya. Bilal bergeming. Dia bahkan terus mengucapkan ahad, ahad, ahad, ketika disika. 

Pengangkatan Bilal sebagai muadzin pertama merupakan penghargaan kepadanya. Mengapa? Karena apa yang diucapkan Bilal ketika disiksa –ahad, ahad, ahad- mempunyai unsur persamaan dengan kalimat-kalimat adzan, yaitu tauhid atau meng-esakan Allah. 
Ketiga, Bilal mempunyai kesiplinan yang tinggi. Adzan dikumandangkan lima kali dalam sehari semalam. Waktunya pun sudah ditetapkan atau menjelang dilaksanakannya shalat fardhu. Untuk itu, diharapkan orang yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi untuk mengemban kiprah sebagai muadzin. Dan Bilal bin Rabah yaitu orang yang mempunyai kedisplinan yang tinggi itu. 

Empat, Bilal mempunyai keberanian. Untuk mengumandangkan adzan pada masa-masa awal dakwah Islam, maka diharapkan keberanian yang tinggi. Maklum saja, prinsip tauhid yang ada dalam kalimat adzan tentu saja bertentangan dengan kondisi masyarakat pada ketika itu, dimana kemusyrikan dan penolakan terhadap Islam masih kencang. Bilal sudah terbukti mempunyai keberanian yang tinggi. Disiksa sekeras apapun ketika menjadi budak, beliau tetap memegang teguh keyakinannya, Islam. 

Bilal terus mengumandangkan adzan. Namun sehabis Rasulullah wafat, beliau tidak bersedia lagi menjadi muadzin. Alasannya, air mata Bilal niscaya akan bercucuran manakala hingga pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” sehingga membuatnya tidak kuasanya melanjutkan adzan. Bilal mengaku kenangan lamanya bersama Rasulullah akan muncul ketika hingga pada kalimat itu.

Khalifah Abu Bakar mencoba merayu Bilal untuk adzan lagi, namun usahanya tidak berhasil. Bilal bersedia untuk mengumandangkan adzan lagi ketika Khalifah Umar bin Khattab datang di Yerusalem. Atas undangan umat Islam, Khalifah Umar meminta Bilal untuk adzan sekali lagi saja. Bilal kesudahannya naik mimbar dan adzan. Semua yang hadir menangis tersedu-sedu mendengar adzan Bilal lagi, termasuk Khalifah Umar. Dan itu menjadi adzan terakhir Bilal.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Dialah Tsauban. Salah satu budak atau pelayan Rasulullah. Tsauban merupakan seorang penduduk Yaman yang menjadi tawanan ketika terjadi perang di zaman Jahiliyah. Rasulullah membelinya dan kemudian membebaskan. Tsauban tidak mau kembali ke Yaman, ia menentukan untuk tinggal dan melayani Rasulullah. Iya, Rasulullah memang mempunyai banyak budak, tapi di kemudian hari semuanya dibebaskan.  

Sama ibarat budak atau pelayan Rasulullah –mungkin lebih, Tsauban sangat mengasihi dan menyayangi majikannya itu. Bahkan, Tsauban tidak mau jauh atau berpisah dari Rasulullah. Ia selalu mengusahakan diri supaya sanggup selalu mendampingi Rasulullah. Kapanpun dan dimanapun. Di rumah maupun di perjalanan.

Jika Rasulullah ada kiprah di luar. Tsauban begitu gelisah. Ia galau alasannya ialah tidak sanggup menatap wajah Rasulullah. Maka ketika Rasulullah kembali ke rumah, Tsauban pribadi menatap wajah majikannya itu. Ia besar hati manakala bersahabat dengan Rasulullah. Dan dia duka ketika Rasulullah tidak ada di dekatnya.

Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), suatu hari Rasulullah mendapati Tsauban bersedih. Padahal pada ketika itu Tsauban tidak sakit dan sedang bersama dengan majikannya, sumber kebahagiaannya. Rasulullan lantas bertanya kepada Tsauban perihal mengapa dia bersedih. 

“Kalau teringat akhirat, saya takut tak sanggup melihatmu lagi. Sebab, engkau akan diangkat ke nirwana tertinggi bersama para nabi. Lalu, mana tempatku dibandingkan tempatmu? Mana peringkatku dibandingkan peringkatmu?” jawab Tsauban.  

“Dan, kalau saya tidak masuk surga, pasti saya tidak sanggup melihatmu lagi selamanya,” tambahnya.  

Begitulah cinta Tsauban kepada Rasulullah, sangat besar. Hingga ia hingga kepikiran perihal kebersamaannya dengan Rasulullah di alam abadi kelak. Apakah dirinya sanggup bersama Rasulullah atau tidak.



Rasulullah terharu dengan balasan Tsauban tersebut. ia juga menjadi kasihan dengan pelayannya itu. Namun tak usang sehabis itu turun wahyu kepada Rasulullah, yaitu Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 69. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa siapapun yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan gotong royong dengan orang yang dianugerahi Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shaleh. 

Ayat tersebut seolah menjawab kesedihan Tsauban yang takut tidak sanggup bertemu dengan Rasulullah, orang yang sangat dicintainya, di alam abadi kelak.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU