Hadits Kullu Bid'atin Dholalah Berdasarkan Dominan Ulama

 Bila tawa rancak itu memang bermakna pembenaran terhadap pernyataan sang ustadz Hadits Kullu Bid'atin Dholalah Menurut Mayoritas Ulama

(Menjawab kalimat "Ini kok ngajari Nabi ya" ala Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawwaz)

Pernyataan ia “Ini kok ngajari Nabi ya…” yang disampaikan dengan tertawa, kemudian disamput dengan riuh tawa jama’ahnya, menciptakan kita prihatin secara ilmiah.

Bila tawa rancak itu memang bermakna pembenaran terhadap pernyataan sang ustadz, marilah kita mengelus dada secara berjama’ah. Karena pembenaran terhadap kalimat “Ini kok ngajari Nabi ya…” secara otomatis akan menenggelamkan sekian syarah dan tafsir hadits – bahkan tidak menutup kemungkinan menenggelamkan disiplin ilmunya secara total -, kemudian bermetamorfosis keangkuhan, klaim, dan hegemoni kebenaran dari kelompok ini.

Apakah ulama yang menafsirkan dan mensyarahi hadits – termasuk dengan pendekatan bahasa – akan dikatakan pula sedang mengajari Nabi Muhammad?

Lebih jauh, apakah para penyusun kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang pada beberapa bab memperlihatkan ada efek perbedaan makna bahasa terhadap perbedaan kesimpulan hukum, juga sedang mengajari bahasa kepada Dia Sang Pemilik Bahasa?

Atau, apa sih maksudnya?

Baiklah, barangkali saya masih perlu melihat utuh videonya – sayang yang disebar dan disosialisasikan oleh buzzernya cuma potongan kajiannya. Tapi untuk menjaga dogma kita ihwal pemahaman bid’ah, kita merujuk pada klarifikasi ulama saja ihwal hadits tersebut. Ulama yang berdasarkan husnuzzhan saya tidak sedang mengajari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Jabir bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda:

«... فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»

“… Maka bergotong-royong sebaik-baik ucapan yaitu kitabullah, sebaik-baik petunjuk yaitu petunjuk Muhammad, sejelek-jelek masalah yaitu hal-hal baru, dan setiap hal gres yaitu sesat.” (HR Muslim, hadits no 867)

Menurut lebih banyak didominasi ulama, hadits ini merupakan hadits umum yang dikhususkan (‘am makhshush). Bila makna hadits ini tidak dikhususkan, maka semua hal gres akan dihukumi sesat, baik urusan agama maupun dunia, atau urusan ibadah, tradisi maupun mu’amalah. Itu tidak mungkin. Lafazh “Kullu” pada hadits ini, menyerupai pada ayat:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا

 “Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.” (QS. Al-Ahqaf: 25)

وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

“Dan dia (Bilqis) dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. Al-Naml: 23)

Imam Nawawi yang punya kitab berjilid-jilid untuk memperlihatkan syarah pada Shahih Muslim – dan tidak sedang mengajari Nabi Muhammad – menjelaskan:

الْحَدِيثَ مِنَ الْعَامِّ الْمَخْصُوصِ وَكَذَا مَا أَشْبَهَهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ وَيُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ عمر بن الخطاب رضي الله عنه في التَّرَاوِيحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِ الْحَدِيثِ عَامًّا مَخْصُوصًا قَوْلُهُ كُلُّ بِدْعَةٍ مُؤَكَّدًا بِكُلِّ بَلْ يَدْخُلُهُ التَّخْصِيصُ مَعَ ذَلِكَ كَقَوْلِهِ تَعَالَى تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (شرح النووي على صحيح مسلم 6/ 155) قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ (6/ 154)

“Hadits tersebut termasuk sesuatu umum yang dikhususkan, demikian pula hadits-hadits sejenis yang ada. Hal yang menguatkan pendapat kami yaitu ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengenai Tarawih: ‘Sebaik-baik bid’ah…’ Hadits (yang artinya) ‘Setiap bid’ah yaitu sesat’ tidak menghalangi keberadaan hadits umum yang dikhususkan ini, dalam keadaan dikuatkan dengan kata ‘Kullu’. Meski terdapat lafal ‘Kullu’, tetap sanggup dikenai pengkhususan (takhshish) menyerupai firman Allah (yang artinya): ‘(Angin itu) menghancurkan segala sesuatu.’ (Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 6/155). “Hadits Rasulullah (yang artinya) ‘Setiap bid’ah yaitu sesat, ini yaitu sesuatu umum yang dikhususkan. Maksudnya yaitu kebanyakan bid’ah.” (Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, jilid 6, hal154)

Dalam Syarh Shahih Muslim tersebut, Imam an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan, hadits tersebut di atas bermakna “umum yang dikhususkan”.

Pendapat ini dikuatkan oleh ucapan Umar bin Khaththab mengenai Tarawih, “Ini yaitu sebaik-baik bid’ah.” Kata “Kullu” tidak berarti “semua”, alasannya yaitu sanggup di-takhshis (dikhususkan), menyerupai firman Allah تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ.

Pada bab sebelumnya (6/154), ia menjelaskan, bid’ah sesat yang dimaksud hadits tersebut yaitu kebanyakan bid’ah, bukan semua bid’ah.

Pendapat Imam Nawawi ini menegaskan pendapat ulama lain berjulukan al-Khaththabi (w. 388 H). Beliau punya kitab berjudul Ma’alim al-Sunan yang fungsinya juga mensyarahi hadits-hadits Nabi Muhammad, bukan mengajari Nabi Muhammad. Pada jilid 4, hal 301 ia menjelaskan:

كُلُّ مُحدثةٍ بدعةٌ فإنَّ هذَا خاصٌّ فِي بَعْضِ الأُمُوْرِ دُوْنَ بَعْضٍ وَكُلِّ شَيْءٍ أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَعَلَى غَيْرِ عِيَارِهِ وَقِيَاسِهِ. وَأَمَّا مَا كَانَ مِنْهَا مَبْنِيّاً عَلَى قَوَاعِدِ الأصُوْلِ وَمَرْدُوْداً إِلَيْهَا فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلاَ ضَلاَلَةٍ وَاللهُ أَعْلَم. (الخطابي, معالم السنن, 4/ 301)

“Setiap perbuatan gres yaitu bid’ah. Hal ini berlaku khusus pada sebagian perkara, bukan pada yang lainnya, (berlaku) pada setiap sesuatu yang gres dilakukan tanpa ada sandaran dalil agama, serta tidak berdarkan ukuran dan standarnya. Adapun sesuatu yang mempunyai sandaran dalil, dibangun di atas kaidah-kaidah Ushul dan sanggup dikembalikan padanya, maka bukan bid’ah dan tidak sesat, wallahu a’lam.” (Al-Khaththabi, Ma’alim al-Sunan, jilid 4, hal. 301)

Dalam teks keterangan tersebut, al-Khaththabi menjelaskan, makna hadits كُلُّ مُحدثةٍ بدعةٌ khusus pada sebagian kasus, dan pada setiap hal gres yang tidak mempunyai dasar dalil dalam agama, serta menyimpang dari ukuran dan standarnya. Sementara suatu perbuatan gres yang dilakukan berdasarkan kaidah dalil, bukan termasuk bid’ah dan tidak sesat.

Melalui keterangan-keterangan tersebut sanggup diambil kesimpulan bahwa tidak semua bid’ah itu buruk atau sesat. Kesimpulan ini diberikan oleh para ulama berdasarkan syarah dari hadits “Kullu bid’atin dhalalah”, bukan melalui terjemahan lahiriah kemudian menafikan senarai disiplin ilmu nahwu, syarah hadits, tafsir hadits, Ushul Fiqh, dan ilmu berkah lainnya.

📚 Semoga bermanfaat.
✍ oleh : Faris Khoirul Anam, Aswaja NU Center Jatim, Wakil Katib Syuriah PCNU Kota Malang 🍃

0 komentar:

Post a Comment