Persamaan Gus Dur Dengan Syaikh Jalaluddin Ar-Rumi

Gus Dur meninggal sesudah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan sesudah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjungi Gus Dur.

Bahkan, padatnya pentakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari banyak sekali tempat di Indonesia turut mengantar mayat putra sulung KH. Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di komplek makam keluarga Tebuireng, Jombang. 

Tebuireng ketika itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat insan berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.

Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.

Kini, pemikiran, gagasasn, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di kerikil nisannya tertulis “Here rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur wangsit bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang sampai kini terus ramai diziarahi.

Ribuan orang mengantar mayat Gus Dur


KH. Husein Muhammad dari Cirebon dalam buku karyanya “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” (2015) mengungkapkan persamaan kondisi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah seorang penyair sufi masyhur, Maulana Jalaluddin Rumi dari Konya, Turki.

Kepulangan Rumi ke Rahmatullah dihadiri beribu-ribu orang yang mengagumi dan mencintainya. Saat itu, di antara mereka yang berduka ialah para pemimpin, tokoh-tokoh penganut Yahudi, Kristen berikut sekte-sektenya, segala madzhab-madzhab pemikiran, serta rakyat jelata yang tiba dari pelosok-pelosok dan sudut-sudut bumi yang jauh.

Gambaran singkat dari kepergian dua zahid (manusia dengan maqom zuhud) yang disambut iringan ribuan orang dari banyak sekali penjuru serta didoakan pula dari segala penjuru memperlihatkan sebuah cinta dan kasih sayang. Rasa tersebut mengkristal dari seluruh komponen masyarakat sebagai wujud cinta dari dua zahid kepada semua insan ketika hayat masih dikandung badan.

Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk menyayangi seluruh manusia, tanpa pamrih apapun. Mereka memperlihatkan kebaikan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya.

Cara hidup demikian diungkapkan dalam sebuah puisi indah gubahan sufi besar dari Mesir, pengarang Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah As-Sakandari yang sering dikutip Gus Dur dalam banyak kesempatan: Idfin wujudaka fil ardhil khumuli, fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (tanamlah wujudmu di tanah yang tidak dikenal, alasannya ialah sesuatu yang tumbuh dari benih yang tak ditanam, buahnya tidak sempurna).

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU

0 komentar:

Post a Comment