Tradisi mulia berupa cium tangan di antara orang-orang shaleh kerap terlihat ketika mereka bertemu. Pemandangan penuh ta’dzim di antaranya terlihat ketika dua tokoh kuat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Habib Saggaf bin Mahdi Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat bertemu dalam sebuah perhelatan yang dihadiri banyak orang.
Kedua tokoh yang bersahabat baik ini memang sudah menjalin keakraban. Keakraban tersebut menciptakan langsung Habib Parung (sebutan Gus Dur untuk Habib Saggaf) banyak berguru dari gerakan, pemikiran, dan dedikasi Gus Dur terhadap kemanusiaan, bangsa, dan negara. Hal ini terbukti ketika Habib Parung juga bersahabat baik dengan siapa pun, baik dari kalangan Muslim dan non-Muslim.
Dalam buku “Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa” yang dieditori oleh Alamsyah M. Djafar dan Wiwit R. Fatkhurrahman (2017), Habib Saggaf bin Mahdi berupaya menarik sanad atau geneologi interaksi keluarganya dengan kakek dan orang renta Gus Dur, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim.
“Bisa mengenal sosok ini (Gus Dur) tentu aku sangat bersyukur. Sungguh aku merasa cocok berteman dengan laki-laki kelahiran Jombang ini. Dia yaitu guru bangsa sekaligus guru aku juga,” kata Habib Saggaf.
Seorang saudara dari nenek Habib Saggaf, Syekh Muhammad bin Ali al-Musalli memiliki kisah khusus dengan kakek Gus Dur, KH. Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Menurut keterangan Habib Saggaf, ternyata Syekh Muhammad pernah berguru di Jombang, berguru kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Dari proses ngaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Muhammad mendapat amalan berupa Surah Al-Fatihah kemudian amalan tersebut diturunkan ke Habib Saggaf dan anaknya yang kala itu masih berumur 13 tahun.
Setiap hari Habib Saggaf membacakan amalan tersebut bersama anak Syekh Muhammad yang merupakan besannya. Amalan tersebut dibaca di musholla kecil di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), daerah kelahiran Habib Saggaf.
Dari ijazah berupa amalan tersebut, Habib Saggaf sudah menganggap Kiai Hasyim Asy’ari berikut keturunannya merupakan gurunya. Terlebih, Kiai Wahid Hasyim seringkali tiba dan menginap di rumah Syekh Muhammad di Dompu.
Selama interaksinya dengan Gus Dur, Habib Saggaf tidak menyangkal bahwa putra sulung Kiai Wahid Hasyim tersebut memang salah seorang yang unik, bahkan sebagian orang menyebutnya aneh. Menurut Habib Saggaf, orang berbicara abnormal wacana Gus Dur alasannya yaitu mereka melihatnya sepintas, tanpa melaksanakan pengamatan lebih dekat terhadap sejatinya Gus Dur.
Menurut dongeng Habib Saggaf dalam buku yang sama, sekitar tahun 2006 Gus Dur divonis mengalami gangguan ginjal sehingga harus menjalani basuh darah secara rutin. Kali pertama menjalani basuh darah keluarga sempat menjemput Habib Saggaf di Parung demi membujuk Gus Dur yang ‘bandel' tak mau menjalani basuh darah.
"Habib, aku minta tolong untuk menasehati Gus Dur," kata Habib Saggaf menirukan permohonan Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur. Permintaan tersebut diamini Habib Saggaf. Ia kemudian tiba ke rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Anehnya, belum sempat mengutarakan niatnya membujuk, Gus Dur malah sudah tahu jikalau salah satu misi Habib Saggaf yaitu membujuk dirinya biar mau basuh darah. Tapi bujukan Habib hasilnya berhasil. Gus Dur pun mau menjalani basuh darah.
Hubungan Habib Saggaf dan Gus Dur makin dekat menjelang Muktamar Luar Biasa PKB di pesantrennya, Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung. Bahkan ketika terjadi konflik internal PKB, Gus Dur sempat meminta saran pendapat Habib Parung, perihal perlu tidaknya PKB dibubarkan.
Habib Saggaf yang pernah berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair dan pernah i'tikaf di Makkah selama lima tahun itu menyarankan ke Gus Dur dikala itu untuk tidak membubarkan PKB.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU