Showing posts with label kisah gusdur. Show all posts
Showing posts with label kisah gusdur. Show all posts
Tradisi mulia berupa cium tangan di antara orang-orang shaleh kerap terlihat ketika mereka bertemu. Pemandangan penuh ta’dzim di antaranya terlihat ketika dua tokoh kuat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Habib Saggaf bin Mahdi Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat bertemu dalam sebuah perhelatan yang dihadiri banyak orang.

Kedua tokoh yang bersahabat baik ini memang sudah menjalin keakraban. Keakraban tersebut menciptakan langsung Habib Parung (sebutan Gus Dur untuk Habib Saggaf) banyak berguru dari gerakan, pemikiran, dan dedikasi Gus Dur terhadap kemanusiaan, bangsa, dan negara. Hal ini terbukti ketika Habib Parung juga bersahabat baik dengan siapa pun, baik dari kalangan Muslim dan non-Muslim.

Dalam buku “Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa” yang dieditori oleh Alamsyah M. Djafar dan Wiwit R. Fatkhurrahman (2017), Habib Saggaf bin Mahdi berupaya menarik sanad atau geneologi interaksi keluarganya dengan kakek dan orang renta Gus Dur, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim.

“Bisa mengenal sosok ini (Gus Dur) tentu aku sangat bersyukur. Sungguh aku merasa cocok berteman dengan laki-laki kelahiran Jombang ini. Dia yaitu guru bangsa sekaligus guru aku juga,” kata Habib Saggaf.

Seorang saudara dari nenek Habib Saggaf, Syekh Muhammad bin Ali al-Musalli memiliki kisah khusus dengan kakek Gus Dur, KH. Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Menurut keterangan Habib Saggaf, ternyata Syekh Muhammad pernah berguru di Jombang, berguru kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

Dari proses ngaji kepada Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Muhammad mendapat amalan berupa Surah Al-Fatihah kemudian amalan tersebut diturunkan ke Habib Saggaf dan anaknya yang kala itu masih berumur 13 tahun.

Setiap hari Habib Saggaf membacakan amalan tersebut bersama anak Syekh Muhammad yang merupakan besannya. Amalan tersebut dibaca di musholla kecil di Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), daerah kelahiran Habib Saggaf.

Dari ijazah berupa amalan tersebut, Habib Saggaf sudah menganggap Kiai Hasyim Asy’ari berikut keturunannya merupakan gurunya. Terlebih, Kiai Wahid Hasyim seringkali tiba dan menginap di rumah Syekh Muhammad di Dompu.

Selama interaksinya dengan Gus Dur, Habib Saggaf tidak menyangkal bahwa putra sulung Kiai Wahid Hasyim tersebut memang salah seorang yang unik, bahkan sebagian orang menyebutnya aneh. Menurut Habib Saggaf, orang berbicara abnormal wacana Gus Dur alasannya yaitu mereka melihatnya sepintas, tanpa melaksanakan pengamatan lebih dekat terhadap sejatinya Gus Dur.

Habib Saggaf Mencium Tangan Gus Dur


Menurut dongeng Habib Saggaf dalam buku yang sama, sekitar tahun 2006 Gus Dur divonis mengalami gangguan ginjal sehingga harus menjalani basuh darah secara rutin. Kali pertama menjalani basuh darah keluarga sempat menjemput Habib Saggaf di Parung demi membujuk Gus Dur yang ‘bandel' tak mau menjalani basuh darah.

"Habib, aku minta tolong untuk menasehati Gus Dur," kata Habib Saggaf menirukan permohonan Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur. Permintaan tersebut diamini Habib Saggaf. Ia kemudian tiba ke rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Anehnya, belum sempat mengutarakan niatnya membujuk, Gus Dur malah sudah tahu jikalau salah satu misi Habib Saggaf yaitu membujuk dirinya biar mau basuh darah. Tapi bujukan Habib hasilnya berhasil. Gus Dur pun mau menjalani basuh darah.

Hubungan Habib Saggaf dan Gus Dur makin dekat menjelang Muktamar Luar Biasa PKB di pesantrennya, Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung. Bahkan ketika terjadi konflik internal PKB, Gus Dur sempat meminta saran pendapat Habib Parung, perihal perlu tidaknya PKB dibubarkan.

Habib Saggaf yang pernah berguru ke Masjid Sayyidina Abbas di Aljazair dan pernah i'tikaf di Makkah selama lima tahun itu menyarankan ke Gus Dur dikala itu untuk tidak membubarkan PKB.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Memahami sosok KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) tak lepas dari seorang tokoh yang rajin bersilaturrahim dengan siapa pun. Baik dengan orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal. Bahkan, Gus Dur yaitu salah seorang yang dianggap bisa berkomunikasi dengan orang yang diziarahinya di alam kubur.

Ketika menghadapi banyak sekali masalah bangsa, baik dikala belum menjadi Presiden RI maupun sesudah memangku jabatan presiden, Gus Dur lebih menentukan berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal dengan mengunjungi makamnya, ketimbang melaksanakan lobi-lobi politik.

“Saya tiba ke makam, lantaran aku tahu, mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.” kata Gus Dur

Ada sebuah kisah ketika Gus Dur ingin berkunjung ke makam salah seorang leluhurnya, Syekh Ahmad Mutamakkin di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Gus Dur memang selalu menyempatkan mampir ke makam Mbah Mutamakkin dikala sedang melewati tempat Pati.

Menurut riwayat yang diceritakan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Gus Dur kala itu mengabarkan ingin bertemu dengan dua orang kiai dari Kajen, Mbah Mutamakkin (hidup di masa Sunan Amangkurat IV, 1719-1726 M) dan Mbah Dullah (KH. Abdullah Salam, 1917-2001). Bedanya, Gus Dur ingin bertemu Mbah Dullah di rumahnya, sedangkan Mbah Mutamakkin ingin ditemui Gus Dur di makamnya yang memang tidak pernah sepi peziarah.

Hal itu Gus Mus ungkapkan ketika sedang berbincang santai dengan KH. Husein Muhammad Cirebon. Ketika itu, Gus Mus pribadi meminta Kiai Husein untuk memberikan impian Gus Dur tersebut ke Mbah Dullah.

Kiai Husein pribadi menuju Kajen, Margoyoso, Pati untuk menemui kiai kharismatik yang lahir 1917 (informasi dari KH. Ma’mun Muzayyin, menantu Mbah Dullah) ini. Kiai Husein pribadi memberikan tujuannya menemui Mbah Dullah.

“Wah, Gus Dur tidak akan bertemu dengan Mbah Mutamakkin, ia sedang keluar,” tutur Mbah Dullah kepada Kiai Husein.

Kiai Husein sendiri sudah paham apa yang dimaksud Mbah Mutamakkin sedang keluar menyerupai yang diungkapkan oleh Mbah Dullah. Orang-orang sholeh memang kerap memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi meskipun secara jasad sudah meninggal. Hal ini tentu di luar batas nalar insan pada umumnya, lantaran ulama memiliki keistimewaan yang disebut karomah.

Informasi dari Mbah Dullah tersebut disimpan oleh Kiai Husein dan akan dikabarkan ketika dirinya bertemu pribadi dengan Gus Dur. Kiai Husein tidak mau orang lain salah paham ketika dirinya memberikan kabar dari salah seorang kiai sufi dan zahid (bersajaha, zuhud) tersebut.

Atas keinginannya untuk sowan kepada dua orang kiai Kajen tersebut, Gus Dur pun pribadi meluncur ke Kajen dan ternyata pribadi menuju rumah Mbah Dullah. Gus Dur sendiri tidak mampir ke rumah Kiai Husein. Kiai Husein pun tidak sempat mengabari Gus Dur mengenai klarifikasi Mbah Dullah terkait kabar Mbah Mutamakkin.

Gus Dur sowan ke rumah Mbah Dullah Salam


Usai tiba di Kajen, mestinya Gus Dur menemui Mbah Mutamakkin terlebih dahulu sebelum menuju rumah Mbah Dullah. “Lah, jarene (katanya) menemui Mbah Mutamakkin dulu, kok ke sini (rumah Mbah Dullah) dulu?” tanya Shinta Nuriyah yang dikala itu ikut mendampingi Gus Dur.

Gus Dur menjawab singkat, “Mbah Mutamakkin ora ono, lagek metu (Mbah Mutamakkin tidak ada, sedang keluar).”

Bagaimana Gus Dur mengetahui kabar Mbah Mutamakkin sedang keluar? Padahal kabar dari Mbah Dullah tersebut belum disampaikan kepada Gus Dur. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di benak Kiai Husein.

Menurut Kiai Husein, itulah salah satu tanda kewalian Gus Dur. Orang semacam itu acap kali paham hal-hal yang orang pada umumnya tidak mengerti sehingga Gus Dur sering dinilai weruh sak durunge winara (mengetahui sebelum kejadian).

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Keistimewaan sejumlah ulama sebagai pewaris para Nabi dalam kajian tasawuf berfungsi untuk memperkuat keimanan umat Muslim. Lain dengan mukjizat para Nabi yang levelnya lebih tinggi yaitu di antaranya untuk menawarkan kekuasaan Allah swt. melalui utusannya.

Riwayat karomah (keistimewaan) ulama dimaksud banyak menjadi pelajaran yang tertulis di dalam banyak sekali kitab. Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi sehabis wafat, waliyullah masih diberi karomah.

Dan bagi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang ada pada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.

Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam karyanya Secercah Tinta (2012) mengungkapkan, banyak Nabi-nabi dari Bani Israil dengan mukjizatnya dapat menghidupkan orang mati. Lalu bagaimana umatnya Rasulullah saw.? Umat Rasulullah pun sama.

Jika pada Bani Israil ada Nabi yang dapat menghidupkan orang mati, maka umat Nabi saw. pun dapat menghidupkan orang mati dengan karomahnya, ibarat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, sebagaimana disebutkan dalam manaqibnya. Demikian juga Imam Yahya bin Hasan yang juga keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani balasannya disebut bin Yahya. Karomah-karomahnya juga dapat menghidupkan orang mati.

Selain itu, Imam Al-Ghazali termasuk ulama masyhur yang mempunyai banyak riwayat keistimewaan. Konon, Al-Ghazali dikehendaki masuk nirwana alasannya yakni menolong seekor lalat yang kecebur dalam wadah tinta yang digunakannya untuk menulis kitab.

Diceritakan oleh KH. Abdul Moqsith Ghazali (2018), Imam Al-Ghazali pernah berdoa kepada Allah. Dalam doanya,beliau berharap kitab yang ditulisnya, Ihya’ Ulumiddin, lebih populer dibanding kuburannya. Doa tersebut dikabulkan. Saat ini kitab tersebut dikaji di banyak sekali pesantren dan sekolah tinggi tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebaliknya, kuburan Al-Ghazali tidak banyak yang tahu. Bahkan berdasarkan Kiai Moqsith yang pernah berkunjung ke makam Al-Ghazali, kuburan penulis Kitab Tahafutul Falasifah itu terlihat apa adanya alasannya yakni gres dua tahun belakangan ditemukan. Artinya, selama ratusan tahun yang ramai diziarahi selama ini bukan makam Al-Ghazali.

Salah seorang kiai pesantren yang dikenal mempunyai keistimewaan ibarat di atas ialah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, Gus Dur tak hanya masyhur tulisan-tulisannya, tetapi juga kuburannya yang diziarahi ribuan orang setiap hari. Nilai-nilai kemanusiaan yang dikembangkan oleh Gus Dur membuatnya tak hanya diziarahi umat Islam, tetapi juga masyarakat dari banyak sekali kalangan dan agama.

Keluarga Gus Dur sedang menziarahi Makam Gus Dur


Kiai Moqsith yang juga dikenal bersahabat dengan Gus Dur ketika masih hidup menuturkan, dahulu Gus Dur ditawari umur 90 tahun oleh malaikat. “Buat apa sih umur panjang-panjang, yang sedang sajalah 69 tahun. Akhirnya benar, Gus Dur wafat pada usia tersebut,” ungkap Kiai Moqsith ketika mengisi lembaga ilmiah ihwal moderasi Islam di Bogor, Jawa Barat baru-baru ini.

Kisah tersebut muncul ketika Kiai Moqsith juga menjelaskan riwayat salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw., Sa’ad bin Abi Waqash. Saat itu sahabat Sa’ad didatangi malaikat pada umur 42 tahun dan ingin mencabut nyawanya. 

Seketika sahabat Sa’ad protes kepada malaikat, alasannya yakni anak-anaknya yang masih kecil. Akhirnya, sahabat Sa’ad berdoa meminta kepada Allah dan diberikan umur panjang. Dikabulkan oleh Allah, umur 84 tahun sahabat Sa’ad gres meninggal. Kuburan sahabat Sa'ad berada di Kota Guangzhou, Tiongkok (China) dan ramai diziarahi banyak orang dari mancanegara.

Wallahu A’lam

Sumber: Situs PBNU
Gus Dur meninggal sesudah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan sesudah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjungi Gus Dur.

Bahkan, padatnya pentakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari banyak sekali tempat di Indonesia turut mengantar mayat putra sulung KH. Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di komplek makam keluarga Tebuireng, Jombang. 

Tebuireng ketika itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat insan berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.

Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.

Kini, pemikiran, gagasasn, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di kerikil nisannya tertulis “Here rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur wangsit bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang sampai kini terus ramai diziarahi.

Ribuan orang mengantar mayat Gus Dur


KH. Husein Muhammad dari Cirebon dalam buku karyanya “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” (2015) mengungkapkan persamaan kondisi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah seorang penyair sufi masyhur, Maulana Jalaluddin Rumi dari Konya, Turki.

Kepulangan Rumi ke Rahmatullah dihadiri beribu-ribu orang yang mengagumi dan mencintainya. Saat itu, di antara mereka yang berduka ialah para pemimpin, tokoh-tokoh penganut Yahudi, Kristen berikut sekte-sektenya, segala madzhab-madzhab pemikiran, serta rakyat jelata yang tiba dari pelosok-pelosok dan sudut-sudut bumi yang jauh.

Gambaran singkat dari kepergian dua zahid (manusia dengan maqom zuhud) yang disambut iringan ribuan orang dari banyak sekali penjuru serta didoakan pula dari segala penjuru memperlihatkan sebuah cinta dan kasih sayang. Rasa tersebut mengkristal dari seluruh komponen masyarakat sebagai wujud cinta dari dua zahid kepada semua insan ketika hayat masih dikandung badan.

Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk menyayangi seluruh manusia, tanpa pamrih apapun. Mereka memperlihatkan kebaikan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya.

Cara hidup demikian diungkapkan dalam sebuah puisi indah gubahan sufi besar dari Mesir, pengarang Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah As-Sakandari yang sering dikutip Gus Dur dalam banyak kesempatan: Idfin wujudaka fil ardhil khumuli, fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (tanamlah wujudmu di tanah yang tidak dikenal, alasannya ialah sesuatu yang tumbuh dari benih yang tak ditanam, buahnya tidak sempurna).

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU
Sosok KH. Abdurrahman Wahid tidak dapat dilepaskan kiprahnya dalam menawarkan spirit kemanusiaan di tanah Papua dari segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi, dan krisis di segala bidang. Papua membutuhkan sekaligus mencintai Gus Dur.

Menurut keterangan seorang santri Gus Dur asal Kudus, Nuruddin Hidayat (2018), pada 30 Desember 1999 atau sempurna dua bulan sepuluh hari sehabis dilantik menjadi Presiden keempat RI, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya dengan dua tujuan, yaitu untuk berdialog dengan aneka macam elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.

Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam obrolan dengan aneka macam elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang tiba sebab penjagaan tidak ketat.

Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia sampai yang memuji tapi dengan aneka macam tuntutan.

Selanjutnya Presiden berbicara merespon mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting ini, "Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua," kata Gus Dur. “Alasannya?” lanjut Gus Dur

"Pertama, nama Irian itu jelek," kata Gus Dur. "Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu dikala orang-orang Arab tiba ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian."

Gus Dur kemudian melanjutkan, "Kedua, dalam tradisi orang Jawa jikalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya agar sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya kini ganti Irian Jaya menjadi Papua."

Seorang Antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata Irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya (kalau tidak ketemu, tidak berarti tidak ada kan?). Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan duduk kasus rumit dan besar menyerupai duduk kasus Papua dengan humor.



Sohibul riwayah, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur memakai alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba "menenangkan" hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melaksanakan protes.

Selain hormat dengan teladan, prinsip, dan keberanian Gus Dur, Manuel Kaisiepo (2017) mempunyai cerita. Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia kurun Presiden Megawati itu mengisahkan, dikala Kongres Rakyat Papua akan diselenggarakan, maka Gus Dur menyetujui kongres tersebut dilaksanakan.

Ketika kongres itu mau diadakan, semua orang protes. Itu separatis. Tetapi presiden (Gus Dur) menyetujui kongres itu diadakan. Bahkan, Gus Dur juga akan membantu terselenggaranya program kongres tersebut, yaitu dengan menawarkan pemberian pendanaan. Ini langkah Gus Dur yang dianggapnya nyeleneh, lain daripada yang lain.

Saat Gus Dur menemui kelompok separatis tersebut, banyak orang yang protes dan mengira bahwa Gus Dur menyetujui keberadaan mereka.

Gus Dur menegaskan bahwa semua yang ada di Papua ialah saudara-saudara dirinya, saudara sebangsa dan sesama manusia. Hal ini dilakukan Gus Dur tak lain untuk membangun iktikad masyarakat Papua kepada pemerintah.


Sumber: Situs PBNU
Interaksi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pihak militer di antaranya terjadi dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut. Foto epik Gus Dur salah satunya ketika mengenakan seragam Tentara Nasional Indonesia AL.

Menurut keterangan seorang santri Gus Dur Nuruddin Hidayat (2018), Gus Dur mengenakan Hasta Siempre Comandante dalam peringatan hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia AL ketika Gus Dur menjabat Presiden RI.

Saat itu, seorang perwira dari Korps Marinir Tentara Nasional Indonesia AL dalam sebuah percakapan mengatakan, “Pernah sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI berbicara di depan pasukan Marinir Tentara Nasional Indonesia AL di daerah saya, ia berbicara begini:

"Menyelamlah kalian hingga ke dasar lautan yang terdalam hingga tubuhmu resap oleh kecintaanmu kepada-Nya. Dan jangan palingkan mukamu ke sisi lain jikalau kau belum mengenal apa yang kau perbuat,” tutur Gus Dur.

Dawuh Gus Dur tersebut penting menjadi perhatian bahwa proses persenyawaan insan dengan alam maupun dengan seluruh makhluk ciptaan Allah harus dilakukan. Hal ini juga terkait dengan proses berguru dan memahami ilmu yang terhampar di muka bumi.

Pernyataan Gus Dur itu juga menyoroti tradisi dan proses instan dalam proses berguru dan memahami ilmu. Hal ini tersirat dalam kalimat kedua dari dawuh di atas. Proses penggalian ilmu dan proses berguru harus bersifat dawam atau terus-menerus dan berkelanjutan ketika seseorang belum memahami ilmu tersebut.

Selain wisdom di atas, Gus Dur juga memiliki kisah lucu dengan Tentara Nasional Indonesia AL. Gus Dur yakni pemimpin bangsa yang menggagas lahirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (dulu Departemen Kelautan dan Perikanan).

Alasan Gus Dur sederhana, dua pertiga wilayah RI yakni laut. Dan dalam sejarah, bangsa Nusantara yakni bangsa maritim. Benteng utama pertahanan maritim Indonesia dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia AL dengan Marinir sebagai pasukan elitnya. 



Dalam buku The Wisdom of Gus Dur: Butir-Butir Kearifan Sang Waskita (2014), suatu ketika dalam suasana santai, Presiden Gus Dur berbincang ringan dengan ajudannya yang lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL). 

Karena dikenal sebagai sosok egaliter, Gus Dur tak sungkan berbincang dengan siapa pun. Alasan itulah yang menciptakan orang-orang dekatnya juga tak segan meski Gus Dur yakni seorang Presiden.

“Gus, salah satu negara di Amerika Latin, yaitu Paraguay nggak punya laut, kok punya Angkatan Laut?” tanya Ajudan.

“Sama ibarat saya, punya Ajudan, tetapi saya bukan ibarat Presiden. Lah, kau manggil saya Gus,” ujar Gus Dur sambil terkekeh dalam hati.

“Siap Pak Presiden!” sontak Ajudan pribadi sadar dan memberi hormat.

“Ndak apa-apa, saya cuma ngetes seberapa besar selera humor seorang tentara,” lontar Gus Dur dengan tawanya yang khas, sedangkan Ajudan hanya dapat menahan tawa alasannya yakni sudah terlanjur hormat.


Sumber: Situs PBNU
Siang itu, di rumah sederhana penuh kehangatan dan keakraban, dua orang sahabat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) membincang segala seuatu dengan renyah penuh humor-humor segar.

Gus Dur yang ditemani istrinya Sinta Nuriyah duduk lesehan bahkan terkadang tiduran di rumah Gus Mus. Konon, menyerupai diriwayatkan oleh KH. Husein Muhammad dari Cirebon dalam Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015), pertemuan kedua sahabat tersebut terjadi sekitar seminggu sebelum Gus Dur berpulang atau wafat.

Gus Dur memang kerap mampir di kediaman Gus Mus. Pertemuan terakhir dengan Gus Mus di Leteh, Rembang itu memang sedikit mengundang tanda tanya. Hal itu muncul mengingat Gus Dur masih dalam kondisi sakit. Bahkan, selama 10 hari, Gus Dur sulit makan.

Namun, di rumah Gus Mus, Gus Dur justru begitu semangat melahap masakan sederhana yang disediakan oleh Gus Mus dan keluarga. Hal ini menciptakan Sinta Nuriyah sedikit terkesiap alasannya yaitu selama hampir dua ahad Gus Dur sulit makan. 

Dalam momen berharga tersebut, Gus Mus mengungkapkan, menyerupai biasa Gus Dur tiba ke rumahnya sekadar ingin bertemu, istirahat, dan lesehan di atas tikar sambil ngobrol ke sana kemari, kadang sambil tiduran.

Obrolan bareng Gus Mus hampir selesai. Walaupun Gus Dur menyampaikan bahwa mampirnya beliau hanya sebentar, tetapi tak terasa hampir dua jam berlalu dua sahabat itu bercengkerama. Sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda ria, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Gus Mus, saya harus segera berangkat ke Tebuireng, saya dipanggil Simbah.”

Gus Mus paham betul apa yang dimaksud ‘Simbah’ oleh Gus Dur. Ia yaitu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur. Gus Dur kemudian bangun dan mohon pamit kepada Gus Mus dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan ke Jombang memenuhi panggilan kakeknya yang ‘dibisikkan’ kepadanya itu.

Jika ‘Simbah’ sudah memanggil, Gus Dur akan segera datang, tanpa berbicara apapun. Begitu pula bila ibunya memanggil. Di tengah perjalanan menuju Tebuireng, tiba-tiba Gus Dur juga ingin menyambangi atau berziarah ke makam Mbah Wahab Chasbullah Tambakberas, guru pertama yang mengajari Gus Dur kebebasan berpikir.

Gus Dur bersama Gus Mus


Setelah itu, Gus Dur eksklusif menuju ke makam kakek, ayahnya dan anggota keluarga lainnya di Tebuireng. Gus Dur berjalan kaki menuju makam. Seperti biasa, Gus Dur membaca tahlil dan berdoa dengan khusyu’ beberapa saat. Konon diceritakan, Gus Dur tidak hanya sekadar berdoa, tetapi ia sedang berbicara dengan sang kakek.

Gus Dur menyimpan banyak pesan menyerupai mengapa harus berkunjung ke Gus Mus, tidak berkunjung ke sahabat yang lain?

Terkait pertanyaan ini, suatu hari KH. Husein Muhammad dari Cirebon diajak makan oleh Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di rumah temannya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Teman itu seorang produser film terkemuka di Indonesia.

Di kawasan tersebut juga bergabung sejumlah tokoh menyerupai Djohan Efendi, mantan menteri sekretaris negara abad Presiden Gus Dur dan Saparinah Sadli, guru besar Universitas Indonesia. 

Di tengah obrolan, Kiai Husein berkesempatan menanyakan ihwal pertemuan terakhir Gus Dur dengan Gus Mus, seminggu sebelum kepulangannya.

Sinta Nuriyah menjawab, “Ya, seminggu sebelum Gus Dur pulang, kami mampir ke Gus Mus. Hubungan Gus Dur dan Gus Mus sangat dekat. Gus Dur menyerupai ingin pamit pulang. Di situ, Gus Dur pesan kepada Gus Mus, ‘Aku titip NU, saya titip NU’. Dan Gus Mus menyerupai kaget sekali mendengar ‘wasiat’ itu, tetapi tak dapat menolak, meski juga tak mampu menjalankan amanat agung itu.”.

Wallahu A’lam


Sumber: Situs PBNU