Saat ini, saya sedang ngarit di sawah. Mencari rumput-rumput untuk kebutuhan pakan kambing-kambing yang ada di pesantren. Kambing-kambing yang juga milik pangersa guru.
Aku ngarit tidak sendiri. Saat ini, saya ditemani Jajang dan Engkus. Dua orang santri yang hari ini sama-sama mendapat kiprah piket untuk mencari pakan kambing.
Bedanya, karungku belum penuh terisi. Sesangkan karung milik Jajang sudah penuh terisi. Bahkan ia sudah mulai mengisi karung kedua. Begitu pun Engkus. Keduanya lebih cekatan hari ini.
Sedangkan aku? Karungku masih kosong. Mungkin dikala ini gres seperempatnya terisi.
Ah, ngarit pagi ini terasa ngaret. Mungkin alasannya ialah saya kebanyakan telponan dengan Siska.
Siska ialah putri bungsu Kang Haji Burhan, tetangga ku di kampung halaman. Ia ialah gadis yang lucu dan baik hati. Entah kenapa ia sering sekali menghubungiku.
Siska paling pandai menciptakan puisi. Hampir tiap ahad ia menciptakan puisi. Puisi-puisinya itu biasa ia muat di facebook. Dan saya sering ditag, ditandai.
Aku suka puisinya. Puisi karya gadis yang dikala ini sedang kuliah, S1 jurusan Manajemen Keuangan di salah satu Universitas Islam Negeri di Bandung.
***
Sepertinya, saya harus mempercepat kerjaanku. Biar karungnya cepat terisi. Lagi pula, nanti siang ada banyak kerjaan lain yang harus saya selesaikan.
"Jang, itu karungmu kok cepet penuh? Kamu isi babadotan sama daun karikil, ya?" tanyaku bergurau.
Santri memang suka bergurau.
"Bener pisan," katanya.
"Atuh.. Itu sekalian sikat aja padi Pak Mahmud, semoga cepet penuh, da kambing juga doyan daun padi mah," kataku menggoda.
"Ah, Akang mah nyuruh ke jalan yang benar.." sahutnya.
Tak lama, hapeku kembali berbunyi. Ada panggilan masuk. Kuangkat, kudengarkan suaranya.
Kali ini bukan dari Siska. Tapi dari Kang Subang. Ia ialah Ro’is Santri, atau ketuanya para santri di pesantren. Ia menyuruhku untuk menunda pekerjaanku dan segera bergegas kembali ke pesantren. Katanya, saya dicari oleh Pangersa Guru. Aku disuruh untuk bergabung dengan para santri lainnya di madrasah, pengajian.
Sontak saya pun merasa heran. Entah kenapa pangersa guru memanggilku untuk hadir di pengajian. Tidak menyerupai biasanya. Pedahal dikala ini saya sedang giliran piket ngarit.
Jika sedang piket begini, biasanya mangkir pengajian pun dimaklum. Tapi mengapa kali ini Pangersa Guru malah menyuruhku untuk berhenti mencari rumput dan memerintahkanku ikut di pengajian?
Tanpa ingin menciptakan Pangersa Guru menunggu terlalu lama, saya pribadi bergegas kembali ke Pesantren. Aku pamitan pada Jajang dan Engkus.
Sesampainya di kobong, saya segera mengganti pakaianku. Dandanan ala tukang ngarit saya ganti dengan sarung, kemeja, dan peci hitam sebagaimana layaknya santri yang akan mengikuti pengajian.
Dengan menenteng tafsir As-Showi dan Alfiyah Ibnu Malik, Aku pribadi menuju madrasah. Sambil berjalan bungkuk, saya mengendap-ngendap perlahan masuk ke madrasah dari arah pintu samping. Kulihat para santri lain memperhatikan kedatanganku. Sepertinya mereka keheranan melihatku datang, begitu saja, di tengah pengajian yang sedang berlangsung.
Biasanya, tak ada santri yang berani tiba telat dan memaksakan masuk ketika pengajian sedang berlangsung. Jika memang sudah terlanjur telat, biasanya, para santri lebih menentukan tidak ikut pengajian sekalian. Ketimbang harus masuk ke madrasah. Hal ini alasannya ialah budaya disiplin dan penanaman rasa aib akhir tiba terlambat yang ujungnya sanggup menggangu aktivitas pengajian.
Keringat panas mulai menetes dari sekujur tubuhku. Satu sisi, saya malu. Di sisi lain, saya memang diperintah pangersa Guru untuk ikut pengajian.
Kulihat semua mata tertuju padaku. Kekhusyuan pengajian memang agak terganggu.
Pangersa guru yang sedang menawarkan pemaparan pun berhenti sejenak. Namun ia nampak memandangku dengan penuh sambut. Raut wajahnya terlihat begitu berseri, matanya berbinar. Entah apa.
Aku merasa lebih tenang, meski masih menyisakan tanda tanya. Entah mimpi apa saya semalam? Hingga hari ini sanggup melihat ekspresi pangersa guru yang tidak biasa padaku. Lebih merdu.
Tak lama, saya pun duduk. Berusaha bersikap menyerupai biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Pangersa guru pun melanjutkan lagi kajian tafsir As-Showinya. Aku ikut kembali mendengarkan kajiaannya.
Kala itu, tafsir Showi yang dikaji ialah surat An-Nahl ayat 43-44. Seperti biasa, pangersa Guru senantiasa melangit memaparkan sebuah kajian. Sering menawarkan kekaguman bagi para santrinya. Kehebatan ia dalam mengeluarkan argumen yang disandaarkan pada sumber-sumber aturan islam memang tidak diragukan lagi. Ilmiah.
Hingga akhirnya, kajian tafsir As-Showi di pagi itu selesai juga. Selanjutnya tersisa satu kajian kitab lagi. Kajian Alfiyah Ibnu Malik.
Para santri mulai mempersiapkan kitab kajian mereka masing-masing. Sebenarnya, meski kajian selanjutnya ialah Alfiyah ibnu malik, namun kitab yang saya bawa dikala itu ialah Al-Khudori yang merupakan Hasyiah Ibnu Aqil. Karena Alfiyyah Ibnu Malik merupakan kitab khulasoh, berupa matan yang berisi syair-syair nadhoman.
Santri lain pun memang membawa kitab syarah. Ada yang membawa kitab yang sama menyerupai kitab yang saya bawa, ada juga yang membawa syarah Alfiyyah lain menyerupai ibnu Aqil, Hamdun, Asmuni, tashilul masalik, Dan lainnya.
Namun usang berselang, pangersa guru nampak belum juag memulai pengajian sesi kedua. Beliau hanya terlihat merenung sambil berwirid. Itu terlihat dari bibirnya yang menari.
Ia sesekali menengok ke area kawasan duduk santri putri yang memang bersebelahan dengan area kawasan duduk santri putra. Di sana, memang ada Santri Putri yang juga sama-sama mengaji.
Santri lain terlihat mulai heran. Mereka tampaknya mulai mencicipi abnormalitas yang terjadi pada pangersa guru. Tak biasanya pangersa Guru melaksanakan jeda pengajian yang terlalu lama.
Beberapa santri nampak saling melirik menyikapi abnormalitas ini. Ada pula yang terlihat jenuh sambil menundukan kepalanya. Tapi ada pula yang menyikapinya santai sembari menggores-goreskan pena pada hamparan sejadah.
Aku sendiri berusaha tenang. Duduk bersandar pada tembok yang ada di belakangku sembari memperhatikan keadaan.
Setelah beberapa dikala berlalu, lautan keheningan itu tiba-tiba kembali hidup. Suara pangersa guru akibatnya memecah sunyi. Pandangan para santri dikala itu pribadi tertuju pada pangersa guru. Menyimak, mencermati, dan mendengarkan alur bunyi yang ia serukan.
“Barudak.." katanya.
Pangersa guru nampak terlihat sumbringah.
"Abah mau menawarkan pengumuman pada kalian. Mengenai putri abah, Neng Ulfah. Sudah usang Abah ingin menikahkan puteri Abah itu. Namun tampaknya belum ada yang cocok," katanya.
"Tapi, sepertinya, ada salah satu dari kalian yang sudah Abah taksir, dan juga puteri abah tampaknya merasa cocok. Wayahna, ku abah diumumkan sekarang. Dan bila sanggup besok lusa sanggup pribadi menikah dengan puteri Abah. Ieu panyungkeun ti Abah. Nu kasebat ku Abah cing Ridho."
"Ku Abah diumumkan, alasannya ialah ini mendesak, berhubung Abah kan harus berangkat ke tanah suci. Abah ingin puteri Abah menikah terlebih dahulu berdasarkan hitungan Abah. Dan kalian pun tentunya harus melaksanakan persiapan hajat untuk pernikahannya besok lusa," Seru abah yang kemudian menciptakan suasana agak riak.
Para santri terlihat saling berbisik dan saling melirik. Ada yang saling tebak. Namun ada juga yang pribadi tegang dan memasang muka ingin tau sembari menduga-duga santri mana yang beruntung mendapat Neng Ulfah.
Memang selama ini Neng Ulfah menjadi idola para santri. Banyak santri yang menaruh hati pada anak wanita satu-satunya yang dimiliki pangersa abah. Dia pandai dan sudah hafal Al-Qur’an tiga puluh juz di luar kepala. Gadis yang berdasarkan Abah usianya sekitar dua puluh satu tahunan itu sudah dimasukan ke pesantren Al-Qur’an yang berada di jawa semenjak usia empat belas tahun.
Kecantikannya memikat semua orang. Tidak sedikit para kiyai besar berdatangan untuk menyebabkan Neng Ulfah sebagai menantu. Namun abah sering menolak dengan alasan tidak ingin memaksakan kehendak pribadi. Beliau selalu memusyawarahkan pilihannya dengan pilihan Neng Ulfah. Keputusannya menentukan menantu selalu di digantungkan pula dengan pilihan putri kesayangannya tersebut.
Abah yang mempunyai gaya bijaksana dan tegas ini pribadi melanjutkan kembali pembicaraannya. Ia menciptakan para santri menjadi penasaran.
“Bismillahirrohmanirrahim.. Kalayan ngarep rahmat ti gusti Allah, Abah nangtoskeun pilihan.. Mangga, Mang Zakaria.. Kapayun..!” tegas abah.
Deug! Langit gonjang-ganjing. Dordar geulap hatiku sosorodotan. Dari dua ratusan santri putera yang ada di pesantren ini hanya saya satu-satunya santri yang mempunyai nama Zakaria. Nama yang diberikan ayahku sewaktu kecil itu kini terlontar dari lisan pangersa guru.
Sungguh, Jantungku terasa kukurumuyan mendengarnya. Keringat pedas bercucuran dari sekujur tubuhku. Kulihat semua mata sontak terpusat padaku. Ya, semua jenis mata itu meracun padaku bersama keheningan yang kembali nganga. Dan saya terpaku dalam posisiku, kaku. Yang kurasa hanya getaran panas tiris bergelora. Nuansa ingin kencing di sebalik celana dalamku menyembul.
Kudengar pangersa guru memanggil kembali namaku sembari matanya yang berbinar tertuju padaku. Aku galau harus bagaimana. Yang terperinci saya hanya mencicipi tekanan yang begitu dalam.
Disela-sela kebingunganku tiba-tiba Kang Jamal bangun dari kawasan duduknya. Putra pertama pangersa guru itu menghampiriku dan menepuk pundakku sembari berbisik.
“Calon adik ipar, hayu kapayun..!”. Bisik Kang Jamal sembari tersenyum padaku.
Sungguh hal tersebut membuatku merasa bagaikan petir. Entah harus bahagia ataukah sedih. Aku bingung. Bagiku, ini berat.
Kang Jamal kemudian menuntunku bangkit. Ia memapahku menuju pangersa guru. Kulihat pangersa guru bangun dan menyambutku. Rona senyum tersurat di bibirnya. Sambutan hangatnya berlanjut pada rangkulan kasih yang kuterima dari beliau.
Lantas saya berdiri menghadap ke arah para santri yang terlihat menghampar di depanku.
Dari kawasan itu, saya sanggup melihat semua santri. Baik santri putra, maupun santri puteri.
Aku sanggup melihat hamparan santri putri yang biasanya tidak sanggup saya lihat alasannya ialah batasan hijab. Mereka semua duduk di area putri, aripet.
Dari puluhan santri putri yang duduk, saya sanggup melihat terperinci sosok Neng Ulfah. Ia memang duduk di posisi paling depan. Senyumnya tergurat padaku. Mukanya merah berseri. Matanya berbinar seolah menyambutku ini.
Jujur, ia duduk dan terlihat manis. Aku merasa grogi. Dia begitu menggemaskan. Terasa memikat untuk terus dipandang. Meski saya pada akibatnya harus menundukkan kepala.
Sejenak saya melayang dalam lamunan. Terkesima sehabis melihat bidadari yang tersenyum padaku. Dalam hati saya berpuisi.
Oh ulfah..
Soca anjeun mencrang jiga peteuy selong..
Pangamung anjeun mancung jiga gantar..
Lamey anjen berem jiga sambel tarasi..
Kulit anjeun bodas..
Lamun saguling aya laukan ku akang dibedahkeun ayeuna keneh..
Lamun tangkuban parahu ngajentul ku akang di tangkarakeun ayeuna keneh..
Asal ulfah miharep akang sangem merjuangken..
Demi cinta akang ka ulfah..
Alfiyah jadi saksi mahar akang ka anjeun..
Al-Qur’an sumawona di perjuangkeun..
Lamun engke tos rumah tangga..
Sarebu anak langkung sae..
asal ulfah miharep akang sangem ngadamelan..
Dalam hati saya bertanya, mengapa pangersa guru memilihku sebagai menantu. Mengapa pula Neng Ulfah memilihku sebagai calon suaminya. Pedahal saya hanyalah jalmi ipis. Orang tidak punya. Wajahku tak seganteng Haji Agus putra Ajengan Ciparay. Aku pun bukan miliyarder layaknya Kang Feri pengusaha emas terkaya di kota Cimahi. Bahkan tidak pula sepintar Gus Muhammad yang katanya pernah menjuarai musabaqoh kitab kuning tingkat nasional.
Aku hanya sebiji debu hina yang tidak mempunyai apapun. Aku hanya angin tanpa arah. Aku hanya orang Gunung Halu. Almarhum ayahku ialah seorang petani biasa. Almarhumah ibuku pun tak jauh beda. Aku hanya anak tunggal yang kini sudah tidak mempunyai keluarga.
Pangersa guru memegang tanganku. Dan tangan yang satunya, melambai memanggil Neng Ulfah untuk ikut ke depan.
Ia melak... Baca kisahnya di sini