Showing posts with label Santri. Show all posts
Showing posts with label Santri. Show all posts

Saat ini, saya sedang ngarit di sawah. Mencari rumput-rumput untuk kebutuhan pakan kambing-kambing yang ada di pesantren. Kambing-kambing yang juga milik pangersa guru.

Aku ngarit tidak sendiri. Saat ini, saya ditemani Jajang dan Engkus. Dua orang santri yang hari ini sama-sama mendapat kiprah piket untuk mencari pakan kambing.

Bedanya, karungku belum penuh terisi. Sesangkan karung milik Jajang sudah penuh terisi. Bahkan ia sudah mulai mengisi karung kedua. Begitu pun Engkus. Keduanya lebih cekatan hari ini.

Sedangkan aku? Karungku masih kosong. Mungkin dikala ini gres seperempatnya terisi.

Ah, ngarit pagi ini terasa ngaret. Mungkin alasannya ialah saya kebanyakan telponan dengan Siska.

Siska ialah putri bungsu Kang Haji Burhan, tetangga ku di kampung halaman. Ia ialah gadis yang lucu dan baik hati. Entah kenapa ia sering sekali menghubungiku.

Siska paling pandai menciptakan puisi. Hampir tiap ahad ia menciptakan puisi. Puisi-puisinya itu biasa ia muat di facebook. Dan saya sering ditag, ditandai.

Aku suka puisinya. Puisi karya gadis yang dikala ini sedang kuliah, S1 jurusan Manajemen Keuangan di salah satu Universitas Islam Negeri di Bandung.
***

Sepertinya, saya harus mempercepat kerjaanku. Biar karungnya cepat terisi. Lagi pula, nanti siang ada banyak kerjaan lain yang harus saya selesaikan.

"Jang, itu karungmu kok cepet penuh? Kamu isi babadotan sama daun karikil, ya?" tanyaku bergurau.

Santri memang suka bergurau.

"Bener pisan," katanya.

"Atuh.. Itu sekalian sikat aja padi Pak Mahmud, semoga cepet penuh, da kambing juga doyan daun padi mah," kataku menggoda.

"Ah, Akang mah nyuruh ke jalan yang benar.." sahutnya.

Tak lama, hapeku kembali berbunyi. Ada panggilan masuk. Kuangkat, kudengarkan suaranya.

Kali ini bukan dari Siska. Tapi dari Kang Subang. Ia ialah Ro’is Santri, atau ketuanya para santri di pesantren. Ia menyuruhku untuk menunda pekerjaanku dan segera bergegas kembali ke pesantren. Katanya, saya dicari oleh Pangersa Guru. Aku disuruh untuk bergabung dengan para santri lainnya di madrasah, pengajian.

Sontak saya pun merasa heran. Entah kenapa pangersa guru memanggilku untuk hadir di pengajian. Tidak menyerupai biasanya. Pedahal dikala ini saya sedang giliran piket ngarit.

Jika sedang piket begini, biasanya mangkir pengajian pun dimaklum. Tapi mengapa kali ini Pangersa Guru malah menyuruhku untuk berhenti mencari rumput dan memerintahkanku ikut di pengajian?

Tanpa ingin menciptakan Pangersa Guru menunggu terlalu lama, saya pribadi bergegas kembali ke Pesantren. Aku pamitan pada Jajang dan Engkus.

Sesampainya di kobong, saya segera mengganti pakaianku. Dandanan ala tukang ngarit saya ganti dengan sarung, kemeja, dan peci hitam sebagaimana layaknya santri yang akan mengikuti pengajian.

Dengan menenteng tafsir As-Showi dan Alfiyah Ibnu Malik, Aku pribadi menuju madrasah. Sambil berjalan bungkuk, saya mengendap-ngendap perlahan masuk ke madrasah dari arah pintu samping. Kulihat para santri lain memperhatikan kedatanganku. Sepertinya mereka keheranan melihatku datang, begitu saja, di tengah pengajian yang sedang berlangsung.

Biasanya, tak ada santri yang berani tiba telat dan memaksakan masuk ketika pengajian sedang berlangsung. Jika memang sudah terlanjur telat, biasanya, para santri lebih menentukan tidak ikut pengajian sekalian. Ketimbang harus masuk ke madrasah. Hal ini alasannya ialah budaya disiplin dan penanaman rasa aib akhir tiba terlambat yang ujungnya sanggup menggangu aktivitas pengajian.

Keringat panas mulai menetes dari sekujur tubuhku. Satu sisi, saya malu. Di sisi lain, saya memang diperintah pangersa Guru untuk ikut pengajian.

Kulihat semua mata tertuju padaku. Kekhusyuan pengajian memang agak terganggu.

Pangersa guru yang sedang menawarkan pemaparan pun berhenti sejenak. Namun ia nampak memandangku dengan penuh sambut. Raut wajahnya terlihat begitu berseri, matanya berbinar. Entah apa.

Aku merasa lebih tenang, meski masih menyisakan tanda tanya. Entah mimpi apa saya semalam? Hingga hari ini sanggup melihat ekspresi pangersa guru yang tidak biasa padaku. Lebih merdu.

Tak lama, saya pun duduk. Berusaha bersikap menyerupai biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Pangersa guru pun melanjutkan lagi kajian tafsir As-Showinya. Aku ikut kembali mendengarkan kajiaannya.

Kala itu, tafsir Showi yang dikaji ialah surat An-Nahl ayat 43-44. Seperti biasa, pangersa Guru senantiasa melangit memaparkan sebuah kajian. Sering menawarkan kekaguman bagi para santrinya. Kehebatan ia dalam mengeluarkan argumen yang disandaarkan pada sumber-sumber aturan islam memang tidak diragukan lagi. Ilmiah.

Hingga akhirnya, kajian tafsir As-Showi di pagi itu selesai juga. Selanjutnya tersisa satu kajian kitab lagi. Kajian Alfiyah Ibnu Malik.

Para santri mulai mempersiapkan kitab kajian mereka masing-masing. Sebenarnya, meski kajian selanjutnya ialah Alfiyah ibnu malik, namun kitab yang saya bawa dikala itu ialah Al-Khudori yang merupakan Hasyiah Ibnu Aqil. Karena Alfiyyah Ibnu Malik merupakan kitab khulasoh, berupa matan yang berisi syair-syair nadhoman.

Santri lain pun memang membawa kitab syarah. Ada yang membawa kitab yang sama menyerupai kitab yang saya bawa, ada juga yang membawa syarah Alfiyyah lain menyerupai ibnu Aqil, Hamdun, Asmuni, tashilul masalik, Dan lainnya.

Namun usang berselang, pangersa guru nampak belum juag memulai pengajian sesi kedua. Beliau hanya terlihat merenung sambil berwirid. Itu terlihat dari bibirnya yang menari.

Ia sesekali menengok ke area kawasan duduk santri putri yang memang bersebelahan dengan area kawasan duduk santri putra. Di sana, memang ada Santri Putri yang juga sama-sama mengaji.

Santri lain terlihat mulai heran. Mereka tampaknya mulai mencicipi abnormalitas yang terjadi pada pangersa guru. Tak biasanya pangersa Guru melaksanakan jeda pengajian yang terlalu lama.

Beberapa santri nampak saling melirik menyikapi abnormalitas ini. Ada pula yang terlihat jenuh sambil menundukan kepalanya. Tapi ada pula yang menyikapinya santai sembari menggores-goreskan pena pada hamparan sejadah.

Aku sendiri berusaha tenang. Duduk bersandar pada tembok yang ada di belakangku sembari memperhatikan keadaan.

Setelah beberapa dikala berlalu, lautan keheningan itu tiba-tiba kembali hidup. Suara pangersa guru akibatnya memecah sunyi. Pandangan para santri dikala itu pribadi tertuju pada pangersa guru. Menyimak, mencermati, dan mendengarkan alur bunyi yang ia serukan.

“Barudak.." katanya.

Pangersa guru nampak terlihat sumbringah.

"Abah mau menawarkan pengumuman pada kalian. Mengenai putri abah, Neng Ulfah. Sudah usang Abah ingin menikahkan puteri Abah itu. Namun tampaknya belum ada yang cocok," katanya.

"Tapi, sepertinya, ada salah satu dari kalian yang sudah Abah taksir, dan juga puteri abah tampaknya merasa cocok. Wayahna, ku abah diumumkan sekarang. Dan bila sanggup besok lusa sanggup pribadi menikah dengan puteri Abah. Ieu panyungkeun ti Abah. Nu kasebat ku Abah cing Ridho."

"Ku Abah diumumkan, alasannya ialah ini mendesak, berhubung Abah kan harus berangkat ke tanah suci. Abah ingin puteri Abah menikah terlebih dahulu berdasarkan hitungan Abah. Dan kalian pun tentunya harus melaksanakan persiapan hajat untuk pernikahannya besok lusa," Seru abah yang kemudian menciptakan suasana agak riak.

Para santri terlihat saling berbisik dan saling melirik. Ada yang saling tebak. Namun ada juga yang pribadi tegang dan memasang muka ingin tau sembari menduga-duga santri mana yang beruntung mendapat Neng Ulfah.

Memang selama ini Neng Ulfah menjadi idola para santri. Banyak santri yang menaruh hati pada anak wanita satu-satunya yang dimiliki pangersa abah. Dia pandai dan sudah hafal Al-Qur’an tiga puluh juz di luar kepala. Gadis yang berdasarkan Abah usianya sekitar dua puluh satu tahunan itu sudah dimasukan ke pesantren Al-Qur’an yang berada di jawa semenjak usia empat belas tahun.

Kecantikannya memikat semua orang. Tidak sedikit para kiyai besar berdatangan untuk menyebabkan Neng Ulfah sebagai menantu. Namun abah sering menolak dengan alasan tidak ingin memaksakan kehendak pribadi. Beliau selalu memusyawarahkan pilihannya dengan pilihan Neng Ulfah. Keputusannya menentukan menantu selalu di digantungkan pula dengan pilihan putri kesayangannya tersebut.

Abah yang mempunyai gaya bijaksana dan tegas ini pribadi melanjutkan kembali pembicaraannya. Ia menciptakan para santri menjadi penasaran.

“Bismillahirrohmanirrahim.. Kalayan ngarep rahmat ti gusti Allah, Abah nangtoskeun pilihan.. Mangga, Mang Zakaria.. Kapayun..!” tegas abah.

Deug! Langit gonjang-ganjing. Dordar geulap hatiku sosorodotan. Dari dua ratusan santri putera yang ada di pesantren ini hanya saya satu-satunya santri yang mempunyai nama Zakaria. Nama yang diberikan ayahku sewaktu kecil itu kini terlontar dari lisan pangersa guru.

Sungguh, Jantungku terasa kukurumuyan mendengarnya. Keringat pedas bercucuran dari sekujur tubuhku. Kulihat semua mata sontak terpusat padaku. Ya, semua jenis mata itu meracun padaku bersama keheningan yang kembali nganga. Dan saya terpaku dalam posisiku, kaku. Yang kurasa hanya getaran panas tiris bergelora.  Nuansa ingin kencing di sebalik celana dalamku menyembul.

Kudengar pangersa guru memanggil kembali namaku sembari matanya yang berbinar tertuju padaku. Aku galau harus bagaimana. Yang terperinci saya hanya mencicipi tekanan yang begitu dalam.

Disela-sela kebingunganku tiba-tiba Kang Jamal bangun dari kawasan duduknya. Putra pertama pangersa guru itu menghampiriku dan menepuk pundakku sembari berbisik.

“Calon adik ipar, hayu kapayun..!”. Bisik Kang Jamal sembari tersenyum padaku.

Sungguh hal tersebut membuatku merasa bagaikan petir. Entah harus bahagia ataukah sedih. Aku bingung. Bagiku, ini berat.

Kang Jamal kemudian menuntunku bangkit. Ia memapahku menuju pangersa guru. Kulihat pangersa guru bangun dan menyambutku. Rona senyum tersurat di bibirnya. Sambutan hangatnya berlanjut pada rangkulan kasih yang kuterima dari beliau.

Lantas saya berdiri menghadap ke arah para santri yang terlihat menghampar di depanku.

Dari kawasan itu, saya sanggup melihat semua santri. Baik santri putra, maupun santri puteri.

Aku sanggup melihat hamparan santri putri yang biasanya tidak sanggup saya lihat alasannya ialah batasan hijab. Mereka semua duduk di area putri, aripet.

Dari puluhan santri putri yang duduk, saya sanggup melihat terperinci sosok Neng Ulfah. Ia memang duduk di posisi paling depan. Senyumnya tergurat padaku. Mukanya merah berseri. Matanya berbinar seolah menyambutku ini.

sama mendapat kiprah piket untuk mencari pakan kambing Cerita: Santri Dijodohkan Dengan Puteri Kiyai, Bikin Baper Cuy!

Jujur, ia duduk dan terlihat manis. Aku merasa grogi. Dia begitu menggemaskan. Terasa memikat untuk terus dipandang. Meski saya pada akibatnya harus menundukkan kepala.

Sejenak saya melayang dalam lamunan. Terkesima sehabis melihat bidadari yang tersenyum padaku. Dalam hati saya berpuisi.

Oh ulfah..
Soca anjeun mencrang jiga peteuy selong..
Pangamung anjeun mancung jiga gantar..
Lamey anjen berem jiga sambel tarasi..
Kulit anjeun bodas..
Lamun saguling aya laukan ku akang dibedahkeun ayeuna keneh..
Lamun tangkuban parahu ngajentul ku akang di tangkarakeun ayeuna keneh..
Asal ulfah miharep akang sangem merjuangken..
Demi cinta akang ka ulfah..
Alfiyah jadi saksi mahar akang ka anjeun..
Al-Qur’an sumawona di perjuangkeun..
Lamun engke tos rumah tangga..
Sarebu anak langkung sae..
asal ulfah miharep akang sangem ngadamelan..

Dalam hati saya bertanya, mengapa pangersa guru memilihku sebagai menantu. Mengapa pula Neng Ulfah memilihku sebagai calon suaminya. Pedahal saya hanyalah jalmi ipis. Orang tidak punya. Wajahku tak seganteng Haji Agus putra Ajengan Ciparay. Aku pun bukan miliyarder layaknya Kang Feri pengusaha emas terkaya di kota Cimahi. Bahkan tidak pula sepintar Gus Muhammad yang katanya pernah menjuarai musabaqoh kitab kuning tingkat nasional.

Aku hanya sebiji debu hina yang tidak mempunyai apapun. Aku hanya angin tanpa arah. Aku hanya orang Gunung Halu. Almarhum ayahku ialah seorang petani biasa. Almarhumah ibuku pun tak jauh beda. Aku  hanya anak tunggal yang kini sudah tidak mempunyai keluarga.

Pangersa guru memegang tanganku. Dan tangan yang satunya, melambai memanggil Neng Ulfah untuk ikut ke depan.
Ia melak... Baca kisahnya di sini
 ramai diperbincangkan sosok Rifdah Farnidah Rifdah Farnidah, Pelajar Putri NU Yang Juara 2 Hafalan Al-Quran Internasional
Sosok Rifdah Farnidah (tengah). Foto: @nuonline_id

Di media sosial, ramai diperbincangkan sosok Rifdah Farnidah. Gadis asal sumedang yang berhasil menjadi juara ke 2 Musabaqoh Hifdzil Alquran (MHQ) tingkat internasional yang di selenggarakan di Yordania selama 6 hari. Dimana kejuaraan tersebut diikuti oleh 30 negara.

Umat muslim di Indonesia tentu turut bangga. Sebab, Rifdah Faridah menandakan bahwa pelajar muslim Indonesia bisa bersaing di dunia Internasional. Khususnya dalam bidang keislaman menyerupai lomba menghafal Al-Qur'an.

Rifdah Farnidah merupakan sosok milenial yang patut dicontoh. Ia bisa fokus untuk menghafal dan mendalami al-Quran kala kebanyakan anak muda zaman kini sibuk dengan hiburan dan permainan.

Rifdah Farnidah sendiri merupakan hafidzoh asal Sumedang. Sebagai mana dilansir dari IG @nuonline_id, Rifdah Farnidah merupakan kader Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama yang juga santriah Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah Sumedang, murid KH. Sa'dullah SQ yang merupakan ketua PCNU Sumedang.

Mutmainnah yang merupakan salah seorang pembimbing Rifdah menyampaikan bahwa Rifdah ialah hafidzoh yang mutqin. Hafidzoh mutqin itu berarti hafidzoh yang benar-benar hafal Al-Quran 30 juz. Bisa disimak dengan lancar tanpa melihat mushaf Al-Quran.

Mutmainnah yang juga tercatat sebagai dosen di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta juga mengungkapkan bahwa keberhasilan yang diperoleh Rifdah ialah langkah awal umenuju ke tingkat selanjutnya.

"Jangan puas hingga di sini saja, pelajari terus Al-Quran sebab samudra Al-Quran sangat luas. Hafalan Al-Quran yang mutqin menjadi pintu gerbang untuk mengarungi samudera Al-Quran," harapnya.

Semoga, akan banyak sosok Rifdah yang lain yang menghiasi negeri Indonesia ini.**
(AR)
 Dawuh KH Maimoen Zubair di Hari Santri  22 Dawuh KH Maimoen Zubair di Hari Santri 22 Oktober

22 DAWUH KH. MAIMOEN ZUBAIR DI HARI SANTRI 22 OKTOBER

1. Ana urid, wa anta turid wallahu yaf’alu ma yurid. "Kamu punya keinginan, saya juga punya keinginan, tapi yang berlaku yaitu impian Allah."

2. Jangan (hanya) rame-rame Hari Santri, tapi bangunlah kesantrian.

3. Ayah saya Kiai Zubair bukan pengurus PBNU, tapi Wakil Rais Akbar KH. Faqih Maskumambang selalu didampingi ayah saya.

4. Ayah saya semenjak kecil mengajarkan saya rasa nasionalisme. Jangan tinggalkan Islam, tapi hubbul wathon minal iman.

5. NU itu tersusun dari 12 huruf. Lambangnya bola dunia, pada wilayah Indonesia diiputi aksara “Dhad”, “Dhad” itu mengambarkan kesempurnaan Rasulullah Saw., yaitu "أنا أفصح من نطق بالضاد" (ana afshahu man nathaqa bid-dhad), saya yaitu orang yang paling fasih melafalkan aksara Dhad.

6. NU tidak sanggup dipisahkan dengan negara. Resolusi Jihad di bulan Oktober membuahkan hasil Hari Pahlawan 10 November. Bila tidak ada Jihad 22 Oktober di Surabaya, maka November barangkali tidak dijadikan hari pahlawan.

7. Bulan Oktober bulan yang kesepuluh, seorang anak 10 tahun akan dipukul manakala ia tidak shalat.

8. Hari Santri 22 Oktober itu istimewa, sebab; 1) Rasulullah Saw. membangun masjid Quba dalam perjalanan hijrah juga pada bulan Oktober, yaitu 1 Oktober. Al-Quran menyebutnya “La masjidun ussisa ‘alat taqwa min awwali yaumin an taquma fih”, 2) Orang Quraisy kebiasaan mereka bepergian pada isu terkini hambar dan isu terkini panas, yaitu Rihlatasy-Syita. Syita itu saat matahari berada di selatan katulistiwa, Oktober ada di dalamnya. Buruj sebelah utara ada 6: hamal, tsaur, jauza, sarathan, asad, dan sunbulah. Di selatan juga 6: mizan, aqrab, qaus, jady, dalw, dan hut.

9. Indonesia itu istimewa, hari kemerdekaannya 17 Agustus/8 Ramadhan, sementara Rasulullah diangkat menjadi Nabi 17 Ramadhan/8 Agustus, kali pertama mendapatkan wahyu.

10. Tanggal 17 mengisyaratkan 17 rakaat dan 17 rukun shalat. Bulan Agustus atau bulan kedelapan mengisyaratkan dekatnya seorang hamba dengan Allah, maksudnya manakala dia sujud, ia meletakkan 7 anggota badannya, ditambah 1 hati yang tawajjuh ke hadirat Allah. Inilah posisi terbaik seorang hamba kepada Tuhannya. Hati ini bilamana baik maka baik pula seluruh amalnya, bila jelek buruk pula semuanya.

11. Angka delapan menjelaskan sebagai tolaknya neraka dan sebabnya masuk surga. Mbah Maimun menjelaskan wacana tujuh penolak neraka yang ada dalam anggota sujud meliputi: jidat, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki. “Tujuh ini sebagai penolak neraka, lantaran pintu neraka ada tujuh,” ujarnya. “Ditambah satu lagi, jikalau kita ingin masuk nirwana harus ingat sama Allah. Makara jumlahnya genap delapan, lantaran delapan ini merupakan jumlah pintu surga.”

12. Tahun 45 itu bagaikan 5 jari, yang mana 4 menjadi pilar, dan akan tepat dengan adanya 5. Makan sanggup saja memakai jari telunjuk, tengah, anggun dan kelingking, namun akan sulit jikalau tidak ada jempolnya.

13. Angka 45, bahwa setiap orang Islam harus membaca syahadat empat kali, dan lima kali. Malam empat kali, Maghrib dan Isya. Sedangkan siang hari lima kali, Shubuh, Zhuhur, dan Ashar. “Jadi ini menawarkan bahwa negara Islam itu tidak ada, yang ada yaitu negara lebih banyak didominasi Islam, yakni Indonesia.”

14. Ka’bah itu berdiri kokoh di atas 4 pilar. Indonesia pun memiliki 4 pilar, yaitu PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Dasar).

15. Dulunya Indonesia terkotak-kotak dengan negara-negara bagian, kini Indonesia sanggup bersatu lantaran 4 hal: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, dan satu negara.

16. Indonesia akan menjadi baldatun thayyibatun bilamana memenuhi 4 hal, yaitu sandang, pangan, papan, dan kesehatan.

17. Yang wajib diikuti itu yaitu Rasulullah, ditambah dengan 4 khalifahnya. 'Alaikum bisunnatiy wa sunnatil khulafa-ir rasyidin.

18. Pilar Ka’bah ada 4, risikonya khilafah juga ada 4, yaitu: Khulafaurrasyidin (4 sahabat), Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Selebihnya tidak ada khilafah.

19. Indonesia itu bukan negara Islam, tapi dia disukai banyak non-muslim; begitu juga Rasulullah, dia Muslim tapi disukai kelahirannya oleh Abu Lahab. Seorang Raja dari Mesir yang non-muslim, lantaran suka kepada Nabi, ia menghadiahi putri Mesir yang berjulukan Mariatul Qibtiyah kepada dia untuk dijadikan sebagai istri.

20. Rasulullah itu keturunan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim aslinya bukan orang Makkah. Nabi Ismail ibunya (Hajar) dari Mesir, namun menetap di Makkah. Maka Rasulullah menyayangi Arab sebagai negaranya lantaran dia orang Arab.

21. Maka kita orang Indonesia juga wajib menyayangi negara kita. Hubbul wathon minal iman. Hal ini seakan terulang kembali, di jaman Sunan Ampel, Ubilai Khan seorang tokoh non-muslim, juga menyayangi Islam. Begitu juga Holago Khan. Dan kini di Indonesia banyak non-muslim yang menyayangi Islam.

22. Orang Arab itu budaya aslinya yaitu jahalah (kebodohan), maskanah (kemiskinan), dan ummiyah (buta huruf), maka kehadiran Rasulullah di tengah-tengah mereka yaitu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Pesan di atas disampaikan Mbah Maimoen Zubair dalam program malam peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2017 di UIN Walisongo Semarang. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Ponpes Fadlul Fadholan dengan Ma'had al-Jami'ah UIN Walisongo, atas inisiatif Dr. KH. Fadholan Musyaffa, Lc, MA.

Ada banyak yang disampaikan Mbah Maimoen, dia menjelaskan wacana Hari Santri, ke-Indonesiaan, Taurat, Injil, al-Quran, sejarah bangsa-bangsa, sejarah Islam di Indonesia dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah, Hari santri bukan cuma sekedar perayaan, tapi bagaimana menumbuhkan rasa kesantrian pada eksklusif kita, ibarat tawadhu, rajin ibadah, hormat pada yang tua, sederhana, dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Alhamdulillah, pada malam itu saya berkesempatan meminta ijin mempelajari kitab yang dia tulis, al-'Ulama al-Mujaddidun Rahimahumullah wa Majalu Tajdidihim wa Ijtihadihim dan Nushus al-Akhyar fi ash-Shaumi wa al-Ifthar. Beliau berpesan, "Walau sudah sanggup menghisab, jangan kau tinggalkan rukyah. Karena rukyah itu qath'i, hisab itu zhanni. Zhanni tidak sanggup mengalahkan yang qath'i". "Injeh Mbah, sami'na wa atha'na", jawab saya.

Wallahu a'lam bish-showab. Mohon maaf bilamana terdapat kesalahan dalam penulisan, baik isi maupun redaksi.

 (Ditulis oleh: Nur Hidayatullah Yuzarsif​ Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Walisongo | Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat MDS Rijalul Ansor).
 salah satu metode pengajaran yang dikala ini masih dijaga dan dilestarikan yaitu metode ha Pesantren dan Tradisi Menghafal

Dalam dunia pendidikan pesantren, salah satu metode pengajaran yang dikala ini masih dijaga dan dilestarikan yaitu metode hafalan (tahfidz).

Menghafal ala pesantren akan berbeda dengan menghafal ala pelajar di sekolahan. Bila kebanyakan forum sekolah hanya menugaskan siswanya untuk menghafal rumus atau potongan-potongan penting dalam suatu pelajaran, maka di pesantren para santri biasa ditugaskan untuk menghafal naskah-naskah secara persis dan utuh sesuai dengan aslinya. Diantara misalnya yaitu dalam hafalan naskah al-Quran, Hadits, kitab kuning, dan hafalan-hafalan lainnnya.

Di forum pendidikan lain, kita jarang menemukan pelajar ditugaskan menghafal semua isi buku secara utuh dan persis sesuai dengan redaksi aslinya tanpa ada kesalahan sedikit pun. Namun di pesantren, menghafal menyerupai ini justru sudah biasa dilakukan, bahkan menjadi tradisi yang berlangsung secara turun temurun.

Setiap santri di pondok pesantren disajikan banyak sekali hafalan sesuai dengan tingkatan kebutuhan. Dari mulai hafalan fundamental sampai hafalan untuk tingkat lanjutan.

Biasanya, para santri pemula yang gres memulai nyantri di pondok pesantren akan disuguhi hafalan-hafalan mendasar. Yakni hafalan seputar ilmu tauhid (aqidah) sampai hafalan doa-doa praktek ibadah (fiqih).

Bila santri sudah menguasai hafalan dasar tersebut, maka tahapan selanjutnya yaitu hafalan al-Quran. Kebanyakan pesantren di Indonesia tidak memprogramkan hafalan al-Quran sebanyak 30 juz, melainkan hanya juz 30 saja sebagai hafalan dasar. Hal ini biasanya terkait dengan pertimbangan yang kekhususan tertentu.

Bila sudah hafal Juz Ama, maka santri mulai masuk pada pelajaran bahasa Arab. Dalam berguru bahasa arab, santri dibiasakan untuk menghafal isi kitab yang berisi kaidah-kaidah sesuai dengan kemampun hafalannya masing-masing. Di antara kitab yang dihafal yaitu Jurumiyah, Imrithy, Nadzm al-Maksud, Alfiyah, dan Jauhar al-Maknun.

Hafalan-hafalan bahasa arab ini biasanya dikembangkan beserta pemahaman kaidah-kaidahnya. Agar para santri bisa menerapkan dan mempraktekkannya dalam membaca teks-teks bahasa arab dengan benar dan tepat. Khususnya dalam mempelajari al-Quran, Hadits, dan kitab-kitab karya para ulama mu'tabar yang notabene berbahasa arab.

Hafalan-hafalan lain biasnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendidikan di masing-masing pesantren.

Meskipun hafalan menjadi hal penting dalam tradisi pendidikan pesantren, namun intinya pemfokusan utama dari proses makhir menghafal ini yaitu untuk menunjang pemahaman para santri dalam ilmu agama yang bisa mengemukakan dalil berkat hafalannya.

Sebab pemahaman lebih utama dari sekedar hafalan. Dan pemahaman yang disertai hafalan lebih utama dari sekedar faham saja, atau hafal saja.

Setelah santri mempunyai hafalan dan pemahaman yang seimbang, pada titik tersebut akan tersambung suatu sanad keilmuan. Yang nantinya akan berantai dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
_____
Oleh: Ang Rifkiyal
(Ansor Bandung Barat/Mahasiswa Pascasarjana Uninus Bandung)